welcome

WELCOME TO PARA PENCARI ILMU.SITUS INI BERISI TENTANG; ILMU PENGETAHUAN, MAKALAH ILMIAH, ILMU TAJWID, KEISLAMAN, DLL.

Monday, June 13, 2016

HAKIKAT PROSES PEMBELAJARAN


HAKEKAT PROSES PEMBELAJARAN


BAB II
PEMBAHASAN

         A.    Pengertian Pembelajaran 
              1.      Pengertian Belajar
Pengertian belajar telah mengalami perkembangan secara evolusi, sejalan dengan perkembangan cara pandang dan pengalaman para ilmuan. Pengertian belajar dapat didefinisikan sesuai dengan nilai filosofis yang dianut dan pengalaman para ilmuan atau pakar itu sendiri dalam mengajarkan peserta didiknya. Muhammad Ali (1987: 10-11) menyatakan, pengertian belajar maupun yang dirumuskan para ahli antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaaan.[1] Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakang pandangan maupun teori yang dipegang.
Belajar adalah suatu aktifitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki prilaku, sikap dan mengokohkan kepribadian. Dalam konteks menjadi tahu atau proses memperoleh pengetahuan menurut pemahaman sains secara konvensional, kontak manusia dengan alam diistilahkan dengan pengalaman yang terjadi berulang kali melahirkan pengetahuan (knowledge), atau a body of kwnoledge.[2] Definisi umum dalam pembelajaran sains secara konvensional, dan beranggapan bahwa pengetahuan sudah terserak di alam, tinggal bagaiman siswa atau pembelajar bereksplorasi, menggali dan menemukan kemudian memungutnya, untuk memperoleh pengetahuan.
Setelah lahir teori kognitivisme, yaitu pengetahuan atau menjadi tahu semacam ini mengalami perubahan. Oleh karena itu, didalam pengalamannya manusia selalu menghadapi sejumlah fenomena atau fakta alami tertentu, maka pengetahuan pada hakekatnya juga terbangun dari sekumpulan fakta-fakta (a budle of facts). Oleh sebab itu tidak berlebihan jika dalam dunia pendidikan berkembang motto: “pengalaman adalah guru yang paling baik” (experience is the best teacher), alam berkembang menjadi guru. Konsep ini tentunya tidak harus dimaknai seolah-olah belajar sekedar penjejalan pengetahuan kepada siswa, seperti halnya yang dipikirkan dan dipraktikkan oleh mereka yang berparadigma ekstrim bahwa belajar pada hakekatnya tidak harus melalui pengajaran atau berfokus kepada guru (teacher centered). Faktanya, tatkala alam berkembang menjadi sebagai guru, biasanya manusia belajar dari alam dengan mengamati, melakukan, mencoba serta menyaksikan sesuatu proses, tidak sekedar reseptif dan pasif.
       2 .      Ciri-ciri dan Tujuan Belajar
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai setiap perubahan tingkah laku yang telatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman. Definisi ini mencakup tiga unsur, yaitu;
1)      Belajar adalah perubahan tingkah laku,
2)      Perubahan tingkah laku tersebut terjadi karena latihan atau pengalaman,
3)      Perubahan tingkah laku tersebut relative permanen atau tetap ada untuk waktu yang cukup lama.
Menurut Gagne (1984), belajar adalah sebuah proses yang didalamnya suatu organisme berubah prilakunya sebagai akibat pengalaman.[3] Dari pengertian tersebut terdapat tiga unsur pokok dalam belajar, yaitu:
a.      Proses
Belajar adalah proses mental dan emosional atau proses berfikir dalam merasakan. Seseorang dikatakan belajar apabila pikiran dan perasaanya aktif. Aktivitas pikiran dan perasaan itu tidak dapat diamati oleh orang lain, tetapi dapat dirasakan oleh orang yang bersangkutan. Belajar tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, karena belajar dapat dilakukan siswa dengan berbagai cara dan kegiatan, dengan syarat terjadinya interaksi antar individu dan lingkungan. Misalnya mengamati demonstrasi yang dilakukan oleh guru, siswa dapat mencoba sendiri, mendiskusikan dengan teman, melakukan eksperimen, mengerjakan soal dan sebagainya.
b.      Perubahan Prilaku
Hasil belajar akan tampak  pada perubahan prilaku individu yang belajar. Seseorang yang belajar akan mengalami perubahan prilaku dari akibat atau proses belajarnya. Pengetahuan dan keterampilan bertambah, demikian pula penguasaan nilai-nilai dan sikap bertambah pula.
c.       Pengalaman
Belajar terjadi karena individu berinteraksi dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan fisik adalah lingkungan individu, baik dalam bentuk alam sekitar (natural), maupun dalam bentuk hasil ciptaan manusia (kultural). Adapun lingkungan sosial siswa, diantaranya; guru, orang tua, pustakawan, pemuka masyarakat, kepala sekolah dan sebagainya.
Belajar merupakan  proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh mental, yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Dari segi guru proses belajar tersebut dapat diamati secara tidak langsung. Artinya proses belajar yang merupakan proses internal siswa tidak dapat diamati, akan tetapi dapat dipahami oleh guru. Proses belajar tersebut tampak melalui prilaku siswa  mempelajari bahan belajar. Prilaku belajar tersebut merupakan respon siswa terhadap tindakan mengajar atau tindakan pembelajaran dari guru.[4]
Penggolongan atau tingkatan jenis prilaku belajar terdiri dari tiga ranah atau kawasan, yaitu : (a) ranah kognitif, yang mencakup enam jenis dan tingkatan prilaku, (b) ranah afektif, yang mencakup lima jenis prilaku atau kemampuan psikomotorik. Masing-masing ranah dijelaskan berikut ini:
       1.      Ranah Kognitif (Bloom, dkk), terdiri dari enam jenis prilaku;
a.         Pengetahuan, mencakup kemampuan ingatan tentang hal-hal yang telah dipelajari dan tersimpan di dalam ingatan. Pengetahuan tersebut dapat berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian, kaidah teori, prinsip, atau metode.
b.        Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap sari dan makna hal-hal yang dipelajari.
c.         Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode, kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. Prilaku ini misalnya tampak dalam kemampuan menggunakan prinsip.
d.        Analisa, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan kedalam bagian-bagian sehingga sruktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik.
e.         Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru, misalnya tampak di dalam kemampuan menyusun suatu program kerja.
f.         Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan criteria tertentu. Sebagai contoh kemampuan menilai hasil karangan.
       2.      Ranah Afektif  menurut Krathwohl & Bloom dkk, yaitu:
a.         Penerimaan, yang mencakup kepekaan tentang hal tertentu dan kesediaan memperhatikan hal tersebut.
b.        Partisipasi, yang mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan berpartisipasi dalam satuan kegiatan.
c.         Penilaian dan penentuan sikap, yang mencakup penerimaan terhadap suatu nilai, menghargai, mengakui dan menentukan sikap.
d.        Pembentukan pola hidup, yang mencakup kemampuan menghayati nilai, dan membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi.
Jadi, dalam proses ini merupakan proses yang dinamis, dimana siswa melakukan keaktifan akan dapat secara terus menerus mengembangkan kemampuan dan kepekaannya untuk mencapai tingkatan-tingkatan kemampuan serta kepekaan yang lebih tinggi melalui proses belajar yang dilakukan.
        3.      Ranah Psikomotor (Simpson), terdiri dari tujuh kemampuan atau kemampuan motorik yaitu:
a)        Persepsi, yang mencakup kemampuan memilahkan sesuatu secara khusus. Contoh pemilahan warna, angka (6 dan 9), pemilahan huruf (b dan d).
b)        Kesiapan, yang mencakup kemampuan menempatkan diri dalam suatu keadaan dimana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Misalnya start lomba lari.
c)        Gerakan yang terbimbing, mencakup kemampuan melakukan gerakan tanpa contoh, atau gerakan peniruan. Misalnya meniru geraka tari.
d)       Gerakan terbiasa, mencakup kemampuan melakukan gerakan-gerakan tanpa contoh. Misalnya melakukan lempar peluru, lompat tinggi dsb.
e)        Gerakan kompleks, yang mencakup kemampuan melakukan gerakan atau keterampilan yang terdiri dari banyak tahap secara lancar, efesien dan tepat. Misalnya bongkar pasang peralatan secara tepat.
f)         Penyesuaian pola gerakan, yang mencakup kemampuan mengadakan perubahan dan penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan khusus yang berlaku. Misalnya kemampuan atau keterampilan bertanding dengan lawan tanding.
g)        Kreatifitas, mencakup kemampuan melahirkan pola-pola gerak-gerik yang baru atas prakarsa sendiri. Misalnya kemampuan membujat gerakan senam sendiri.
Adapun ciri-ciri perubahan dalam pengertian belajar menurut Slameto (1987) meliputi :
1)        Perubahan yang terjadi berlangsung secara sadar, sekurang-kurangnya sadar bahwa pengetahuannya bertamba, sikapnya berubah, kecakapannya berkembang, dan lain-lain.
2)        Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional.
3)        Perubahan belajar bersifat positif dan aktif.
4)        Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara.
5)        Perubahan belajar bertujuan dan terarah.
Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku, bukan bagian bagian tertentu secara parsial.[5]
Selain dari berbagai pengertian dan ciri-ciri tersebut, hal yang harus diperhatikan adalah tujuan belajar. Tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan suatu kegiatan. Sebagai unsur penting untuk suatu kegiatan, maka dalam kegiatan apapun tujuan tidak bisa diabaikan. Demikian juga halnya dalam kegiatan belajar mengajar, tujuan adalah suatu cita-cita yang dicapai dalam kegiatannya. Tujuan merupakan komponen yang dapat mempengaruhi komponen pengajaran lainnya seperti: bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, pemilihan metode, alat, sumber dan evaluasi. Semua komponen itu harus disesuaikan dan didayagunakan untuk mencapai tujuan seefektif dan seefisien mungkin. Bila salah satu komponen tidak sesuai dengan tujuan, maka pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tidak akan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Tujuan memiliki nilai yang sangat penting di dalam pengajaran. Bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan merupakan faktor yang terpenting dalam kegiatan dan proses belajar mengajar. Nilai-nilai tujuan dalam pengajaran diantaranya adalah sebagai berikut: [6]
a.    Tujuan pendidikan mengarahkan dan membimbing kegiatan pendidik dan peserta didik dalam proses pengajaran;
b.    Tujuan pendidikan memberikan motivasi kepada pendidik dan peserta didik;
c.    Tujuan pendidikan memberikan pedoman dan petunjuk kepada pendidik dalam rangka memilih dan menentukan metode mengajar atau menyediakan lingkungan belajar bagi peserta didik;
d.   Tujuan pendidikan penting maknanya dalam rangka memilih dan menentukan alat peraga pendidikan yang akan digunakan; dan
e.    Tujuan pendidikan penting dalam menentukan alat/teknik penilaian pendidik terhadap hasil beajar peserta didik.
Ada bermacam-macam tujuan pendidikan menurut M. J. Langeveld  yaitu:[7]
1.    Tujuan umum
Tujuan umum adalah tujuan paling akhir dan merupakan keseluruhan/kebulatan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan. Bagi Langeveld tujuan umum atau tujuan akhir, akhirnya adalah kedewasaan, yang salah satu cirinya adalah tetap hidup dengan pribadi mandiri. Dan menurut Hoogveld  mendidik itu berarti membantu manusia agar mampu menunaikan tugas hidupnya secara berdiri sendiri.[8]
2.    Tujuan khusus
Tujuan khusus adalah pengkhususan tujuan umum atas dasar berbagai hal. Misalnya usia, jenis kelamin, intelegensi, bakat, minat, lingkungan sosial budaya, tahap-tahap perkembangan, tuntutan persyaratan pekerjaan dan sebagainya.
3.    Tujuan tidak lengkap
Tujuan tidak lengkap adalah tujuan yang hanya menyangkut sebagian aspek kehidupan manusia. Misalnya aspek psikologis, biologis, sosiologis saja. Salah satu aspek psikologis misalnya hanya mengembangkan emosi dan pikiran saja.
4.    Tujuan sementara
Tujuan sementara adalah tujuan yang hanya dimaksudkan untuk sementara saja, sedangkan kalau tujuan sementara itu sudah tercapai maka ditinggalkan dan diganti dengan tujuan yang lain. Misalnya: orang tua ingin agar anaknya berhenti merokok, dengan dikurangi uang sakunya. Kalau sudah tidak merokok, lalu ditingalkan dan diganti dengan tujuan lain misalnya agar tidak suka begadang.
5.    Tujuan intermedier
Tujuan intermedier yaitu tujuan perantara bagi tujuan lainnya yang pokok. Misalnya: anak yang dibiasakan untuk menyapu halaman, maksudnya agar kelak ia mempunyai rasa tanggung jawab. Membiasakan membagi-bagi tugas pada anak satu dengan lainnya juga berarti melatih tanggung jawab dengan maksud agar kelak mereka memiliki rasa tanggung jawab.
6.    Tujuan insidental
Tujuan insidental yaitu tujuan yang dicapai pada saat-saat tertentu, seketika atau spontan. Misalnya: pendidik menegur anak yang bermain kasar ketika bermain sepak bola. Selain itu, orang tua yang menegur anaknya untuk duduk dengan sopan.
Dalam bukunya, Djamarah mengatakan bahwa suatu tujuan pengajaran adalah deskripsi tentang penampilan perilaku (performance) peserta didik-peserta didik yang kita harapkan setelah mereka mempelajari bahan pelajaran yang kita ajarkan. Suatu tujuan pengajaran mengatakan suatu hasil yang kita harapkan dari pengajaran itu dan bukan sekedar suatu proses dari pengajaran itu sendiri. Akhirnya, pendidik tidak bisa mengabaikan masalah perumusan tujuan bila ingin memprogamkan pengajaran.[9]
      B.    Hakikat Pembelajaran
Istilah pembelajaran merupakan perkembangan dari istilah pengajaran. Pembelajaran adalah upaya yang dilakukan oleh seorang guru atau yang lain untuk membelajarkan siswa yang belajar.[10] Secara garis besar, ada empat pola pembelajaran. Pertama, pola pembelajaran guru dengan siswa tanpa menggunakan alat bantu atau bahan pembelajaran dalam bentuk alat raga. Kedua, pola (guru+alat bantu) dengan siswa, ketiga, pola (guru)+(media) dengan siswa. Keempat, pola media dengan siswa atau pola pembelajaran jarak jauh menggunakan media atau bahan pembelajaran yang disiapkan.
Berdasarkan pola-pola pembelajaran diatas, maka pembelajaran bukan hanya sekedar mengajar dengan pola satu, akan tetapi lebih dari pada itu, seorang guru harus mampu menciptakan proses pembelajaran yang bervariasi.
Menurut paham konvensional, pembelajaran diartikan sebagai bantuan kepada anak didik yang dibatasi pada aspek intelektual dan keterampilan. Unsur utama dari pembelajaran adalah pengalaman anak sebagai seperangkat event sehingga terjadi proses belajar.[11]
Menurut Moh. Uzer Usman, proses belajar mengajar adalah suatu proses yang mengandung serangkaian serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.[12]
Kegiatan mengajar biasanya diidentikkan dengan tugas guru di sekolah dan dosen di perguruan tinggi. Mengajar pada hakekatnya adalah melakukan kegiatan belajar, sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
Ada beberapa pendapat yang terlalu sempit tentang mengajar, antara lain:
a. Mengajar adalah menyuruh anak menghafal.
Dalam hal ini diutamakan latihan dan menghafal fakta-fakta yang diharapkan akan keluar pada ujian. Guru mempertahankan diri dengan alasan “terpaksa karena ujian”. Cara mengajar seperti ini mengabaikan minat anak, hubungan dengan kehidupan anak.
b. Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan
Pengetahuan hanya salah satu aspek dari tujuan pendidikan, sedangkan yang dituju adalah pembentukan seluruh pribadi anak. Pengetahuan bukanlah tujuan pendidikan, melainkan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Mengajar berdasarkan pendirian ini mengakibatkan hal-hal berikut: Pelajaran bersifat teacher-centered. Guru menentukan bahan pelajaran. Kemudian Anak-anak tidak turut merancang, menentukan langkah-langkah, dan menilai hasil pelajaran.
c. Mengajar adalah menggunakan satu metode mengajar tertentu.
Mengenal bahan pelajaran belum menjamin kesanggupan mengajarkannya. Mengenal metode-metode mengajar belum menjamin hasil baik, apabila kita menggunakannya secara stereotif, artinya menggunakan metode tertentu dalam situasi. Situasi belajar senantiasa berbeda. Anak didik tahun ini berbeda dengan tahun yang lalu. Guru harus selalu mencari cara-cara baru untuk menyesuaikan pengajarannya dengan situasi baru yang dihadapinya.[13]
Ada beberapa prinsip yang berlaku umum untuk semua guru yang baik:
a.    Guru yang baik memahami dan menghormati siswa.
b.    Guru yang baik harus memahami bahan pelajaran yang diberikannya.
c.    Guru yang baik menyesuaikan metode mengajar dengan bahan pelajaran.
d.   Guru yang baik menyesuaikan bahan pelajaran dengan kesanggupan individu.
e.    Guru yang baik mengaktifkan siswa dalam hal belajar.
f.     Guru jangan terikat oleh satu buku pelajaran (textbook).
Untuk dapat melaksanakan tugas mengajar dengan baik, guru harus memiliki kemampuan profesional, yaitu terpenuhinya 10 kompetensi guru, yang meliputi:
1.      Menguasai bahan, yaitu bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah dan bahan penunjang bidang studi.
2.      Mengelola program belajar mengajar.
3.      Mengelola kelas.
4.      Penggunaan media atau sumber.
5.      Menguasai landasan-landasan pendidikan.
6.      Mengelola interaksi-interaksi belajar mengajar.
7.      Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.
8.      Mengenal fungsi layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
9.      Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.
10.  Memahamai prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan belajar.[14]
Mengajar dapat dipandang sebagai menciptakan situasi dimana diharapkan anak didik dapat belajar dengan efektif. Situasi belajar terdiri dari berbagai faktor seperti anak didik, fasilitas, prosedur belajar, cara penilaian. Dalam situasi belajar itu ada kalanya guru mengatakan apa yang harus dilakukan oleh anak didik (direction), ada kalanya ia membimbing atau membantu dan memberikan saran kepada anak didik dalam menyelesaikan
rencana atau tugas masing-masing (guidance).[15] Jadi kedua aspek itu, direction dan guidance terdapat di dalamnya.
Hasil riset terhadap mengajar yang efektif memberikan indikasi, bahwa terdapat tiga pola belajar yang dapat efektif yaitu pola mengajar direktif, mengajar nondirektif dan menyerahkan pengaturan belajar kepada siswa itu sendiri.[16]
Pola mengajar direktif bercirikan penentuan tujuan intruksional khusus yang harus dicapai oleh semua siswa. Pola ini menuntun siswa agar menguasai kemahiran serta keterampilan dasar, dan mendukung usaha siswa yang takut secara negatif akan gagal dalam belajarnya. Pola mengajar nondirektif bercirikan penyerahan inisiatif lebih banyak kepada siswa. Pola ini sesuai dengan siswa yang telah terbiasa bekerja tanpa selalu diawasi langsung oleh tenaga pengajar. Pola menyerahkan pengaturan belajar kepada siswa sendiri bercirikan pemberian kebebasan semaksimal mungkin dalam belajarnya, serta penyelesaian berbagi tugas belajar secara mandiri atau dalam kelompok kecil.
Undang-Undang Dasar 1945 menginginkan agar setiap warganegara mendapat kesempatan belajar seluas-luasnya. KPPN (Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional) mengemukakan agar pendidikan kita bersifat semesta, menyeluruh dan terpadu.[17]
Semesta berarti bahwa pendidikan dinikmati oleh semua warganegara. Menyeluruh maksudnya agar ada mobilitas antara pendidikan formal dan non formal, sehingga terbuka pendidikan seumur hidup bagi setiap warga negara Indonesia. Kemajuan bangsa hanya dimungkinkan oleh perluasan pendidikan bagi setiap masyarakat dari bangsa itu sendiri. Pendidikan bukan hanya diperuntukkan bagi suatu golongan elite yang sangat terbatas, melainkan bagi seluruh rakyat. Setiap pembatasan atau pengekangan akan berarti kerugian dan penghamburan bakat dan biaya.
      C.     Hakekat belajar mengajar
Belajar yang kita harapkan bukanlah sekedar mendengar, memperoleh atau menyerap informasi yang disampaikan guru. Belajar harus menyentuh siswa secara mendasar. Belajar harus dimaknai sebagai kegiatan pribadi siswa dalam menggunakan potensi pikiran dan nuraninya baik terstruktur maupun tidak terstruktur untuk memperoleh pengetahuan, membangun sikap dan memiliki keterampilan tertentu.[18] Dengan demikian belajar merupakan proses perubahan prilaku berkat pengalaman dan latihan. Artinya, tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi. Kegiatan belajar mengajar seperti pengorganisasian pengalaman belajar, mengolah kegiatan belajar mengajar, menilai proses, dan hasil belajar, kesemuanya termasuk dalam cakupan tanggung jawab guru. Jadi hakekat belajar adalah perubahan.
Seperti kita ketahui, dewasa ini terjadi perkembangan yang amat cepat dalam berbagai aspek kehidupan, baik di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, pertahanan, komunikasi dan sebagainya yang berdampak pada penddikan dan pembelajaran. Dalam kaitan ini UNESCO sesuai laporannya yang diberi judul Learning: The Tresure Within (1996) menyampaikan adanya sejumlah tantangan kontroversional yang harus dihadapi dengan cara menyeimbangkan berbagai tekanan (tension), yaitu tekanan antara tuntutan global dan lokal, universal dan individual, pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek, tradisional dengan modern, antara tuntutan spiritual dengan kebutuhan material, dan sebagainya.[19]
Secara ringkas UNESCO memberikan empat pilar belajar:
1.     Learning to know
Belajar untuk mengetahui, (learning to know), berkaitan dengan perolehan, penguasaan  dan pemanfaatan pengetahuan. Belajar untuk mengetahui oleh UNESCO dipahami sebagai cara dan tujuan dari eksistensi manusia. Hal ini sesuai  dengan penegasan Jacques Delors (1996) sebagai komisi ketua komisi penyusunan laporan Learning: The Treasure Within, yang menyatakan adanya dua manfaat pengetahuan, yaitu pengetahuan sebagai cara, (means) dan pengetahuan sebagai hasil atau tujuan, (end), sebagai cara hidup, terkait keniscayaan bahwa manusia memang wajib memahami dunia disekelilingnya, minimal sesuai dengan pemenuhan kebutuhannya untuk menjadi makhluk yang berkehormatan dan memiliki percaya diri, mengembangkan keterampilan, serta berkomunikasi dengan orang lain.

2.      Learning to Do
Konsep learning to do ini terkait dengan pernyataan pokok, bagaimana kita mengadaptasikan pendidikan sehingga mampu membekali siswa bekerja untuk mengisi berbagai jenis lowongan pekerjaan di masa depan? Dalam hal ini pendidikan diharapkan mampu menyiapkan siswa berkaitan dengan dua hal. Pertama, berhubungan dengan ekonomi industri, di mana para pekerja memperoleh upah dari pekerjaannya. Kedua, yaitu suatu usaha yang kita kenal sebagai wirausaha, para lulusan sekolah menyiapkan jenis pekerjaannya sendiri dan menggaji dirinya sendiri (self emplopment), dalam semangat entrepreneurship.
3.      Learning to Live Together
Belajar untuk hidup bersama, mengisyaratkan keniscayaan interaksi berbagai kelompok dan golongan dalam kehidupan global yang dirasakan semakin menyempit akibat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Agar dapat berinteraksi, berkomunikasi, saling berbagi, bekerja sama dan hidup bersama, saling menghargai dalam kesetaraan, sejak kecil anak-anak sudah harus dilatih, dibiasakan hidup berdampingan bersama, terlebih di negara Indonesia yang multikultur.[20]
4.      Learning to Be
Yakni belajar untuk menjadi manusia yang utuh, maka dari itu mengharuskan tujuan pembelajaran yang sedemikian rupa baik rancangan maupun mengimplementasikannya terhadap siswa sehingga dapat mencapai manusia yang utuh. Manusia yang utuh adalah manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek ketaqwaan terhadap Tuhan, intelektual, emosi, sosial, fisik, maupun moral.


BAB III
PENUTUP
          A.           Kesimpulan
Istilah pembelajaran merupakan perkembangan dari istilah pengajaran. Pembelajaran adalah upaya yang dilakukan oleh seorang guru atau yang lain untuk membelajarkan siswa yang belajar. Secara garis besar, ada empat pola pembelajaran. Pertama, pola pembelajaran guru dengan siswa tanpa menggunakan alat bantu atau bahan pembelajaran dalam bentuk alat raga. Kedua, pola (guru+alat bantu) dengan siswa, ketiga, pola (guru)+(media) dengan siswa. Keempat, pola media dengan siswa atau pola pembelajaran jarak jauh menggunakan media atau bahan pembelajaran yang disiapkan. Kegiatan belajar mengajar seperti pengorganisasian pengalaman belajar, mengolah kegiatan belajar mengajar, menilai proses, dan hasil belajar, kesemuanya termasuk dalam cakupan tanggung jawab guru. Jadi hakekat belajar adalah perubahan.
Ada beberapa prinsip yang berlaku umum untuk semua guru yang baik:
1.      Guru yang baik memahami dan menghormati siswa.
2.      Guru yang baik harus memahami bahan pelajaran yang diberikannya.
3.      Guru yang baik menyesuaikan metode mengajar dengan bahan pelajaran.
4.      Guru yang baik menyesuaikan bahan pelajaran dengan kesanggupan individu.
5.      Guru yang baik mengaktifkan siswa dalam hal belajar.
6.      Guru jangan terikat oleh satu buku pelajaran (textbook).

       B.            Saran
Makalah ini masih banyak kekurangannya, maka dari itu kritik dan saran nya guna agar makalah kami bisa menjadi lebih baik. Menurut penulis bahwa, banyak pembelajaran  yang terpusat pada guru, sehingga mengakibatkan peserta didik kurang aktif, oleh karena itu perlu digeser sedemikian rupa sehingga menjadi lebih terpusat pada peserta didik.


DAFTAR PUSTAKA
Ainurrahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: CV. Alfabeta.
Dimyati,dkk. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah, Syaiful Bahri & Aswan Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Fathurrohman, Pupuh, Sutikno, M.Sobry, 2011, Strategi Belajar Mengajar, Bandung: PT. Refika Aditama.
Hasanah, Aan, 2012, Pengembangan Profesi Keguruan, Bandung: Pustaka Setia.
J. Mursell dan S. Nasution, 2000, Mengajar dengan Sukses, Jakarta: Bumi Aksara.
Nanang, Hanafiah, Suhana, Cucu, 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT. Refika Aditama.
S. Nasution, 2004, Didaktik Asas-Asas Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara.
S. Nasution, 2008, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara,
Sanjaya, Wina, 2008. Strategi Pembelajaran; Berorentasi setandar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Siswoyo, Dwi, dkk. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press.
Soekarlan, Endang. 1969. Pedagogik Umum. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta.
Subroto, B. Suryo, 1997, Proses Belajar Mengajar di Sekolah , Jakarta: Rineka Cipta.
Suyono, Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
W.S. Winkel, 2005, Psikologi Pengajaran , Yogyakarta: Media Abadi.




[1] Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana, 2009, Konsep Strategi Pembelajaran, Bandung: PT. Refika Aditama. H. 5
[2] Suyono dan Hariyanto, 2011,  Belajar dan Pembelajaran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. H. 9
[3] Wina Sanjaya, 2008. Strategi Pembelajaran; Berorentasi setandar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. H. 26
[4] Ainurrahman, 2012,  Belajar dan Pembelajaran,  Bandung: CV. Alfabeta. H. 48
[5] Pupuh Fathurrohman, M.Sobry Sutikno, 2011, Strategi Belajar Mengajar, Bandung: PT. Refika Aditama. H. 10, Cet. Ke 5.
[6] Dimyati, dkk,  2009, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta
[7] Siswoyo, Dwi, dkk,  2007,  Ilmu Pendidikan,  Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press. H. 26.
[8] Soekarlan, Endang, 1969,  Pedagogik Umum, Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta. H. 29
[9] Djamarah, Syaiful Bahri & Aswan Zain, 2010, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta. H. 42
[10] Aan Hasanah,  2012, Pengembangan Profesi Keguruan, Pustaka Setia: Bandung. H. 85
[11] Ibid,.. H. 86
[12] B. Suryo Subroto, 1997, Proses Belajar Mengajar di Sekolah , Jakarta: Rineka Cipta. H. 19
[13] S. Nasution, 2004, Didaktik Asas-Asas Mengajar , Jakarta: Bumi Aksara. H. 7
[14] B. Suryo Subroto, 1997, Proses Belajar Mengajar di Sekolah , Jakarta: Rineka Cipta. H. 4-5
[15] J. Mursell dan S. Nasution, 2000,  Mengajar dengan Sukses, Jakarta: Bumi Aksara. H. 9
[16] W.S. Winkel, 2005, Psikologi Pengajaran, Yogyakarta: Media Abadi. H. 490
[17] S. Nasution, 2008, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara. H. 36.

[18] Op-Cit,. H. 142
[19] Op.Cit,. H. 29
[20] Ibid,.. H. 31-33

No comments:

Post a Comment