HAKEKAT
PROSES PEMBELAJARAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pembelajaran
1.
Pengertian
Belajar
Pengertian
belajar telah mengalami perkembangan secara evolusi, sejalan dengan
perkembangan cara pandang dan pengalaman para ilmuan. Pengertian belajar dapat didefinisikan sesuai dengan
nilai filosofis yang dianut dan pengalaman para ilmuan atau pakar itu sendiri
dalam mengajarkan peserta didiknya. Muhammad Ali (1987: 10-11) menyatakan, pengertian belajar maupun yang dirumuskan para ahli antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaaan.[1] Perbedaan
ini disebabkan oleh latar belakang pandangan maupun teori yang dipegang.
Belajar adalah
suatu aktifitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan
keterampilan, memperbaiki prilaku, sikap dan mengokohkan kepribadian. Dalam
konteks menjadi tahu
atau proses memperoleh pengetahuan menurut pemahaman sains secara konvensional,
kontak manusia dengan alam diistilahkan dengan pengalaman yang terjadi berulang
kali melahirkan pengetahuan (knowledge),
atau a body of kwnoledge.[2]
Definisi
umum dalam pembelajaran sains secara konvensional, dan
beranggapan bahwa pengetahuan sudah terserak di alam, tinggal bagaiman siswa
atau pembelajar bereksplorasi, menggali dan menemukan kemudian memungutnya,
untuk memperoleh pengetahuan.
Setelah lahir teori
kognitivisme, yaitu pengetahuan atau menjadi tahu semacam ini mengalami
perubahan. Oleh karena itu, didalam pengalamannya manusia selalu menghadapi
sejumlah fenomena atau fakta alami tertentu, maka pengetahuan pada hakekatnya
juga terbangun dari sekumpulan fakta-fakta (a
budle of facts). Oleh sebab itu tidak berlebihan jika dalam dunia
pendidikan berkembang motto: “pengalaman adalah guru yang paling baik” (experience is the best teacher), alam
berkembang menjadi guru. Konsep ini tentunya tidak harus dimaknai seolah-olah
belajar sekedar penjejalan pengetahuan kepada siswa, seperti halnya yang
dipikirkan dan dipraktikkan oleh mereka yang berparadigma ekstrim bahwa belajar
pada hakekatnya tidak harus melalui pengajaran atau berfokus kepada guru (teacher centered). Faktanya, tatkala
alam berkembang menjadi sebagai guru, biasanya manusia belajar dari alam dengan
mengamati, melakukan, mencoba serta menyaksikan sesuatu proses, tidak sekedar reseptif
dan pasif.
2 .
Ciri-ciri
dan Tujuan Belajar
Sebagaimana telah
dijelaskan diatas bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai setiap perubahan
tingkah laku yang telatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau
pengalaman. Definisi ini mencakup tiga
unsur, yaitu;
1) Belajar adalah perubahan tingkah laku,
2) Perubahan tingkah laku tersebut terjadi karena latihan atau pengalaman,
3) Perubahan tingkah laku tersebut relative permanen atau tetap ada untuk
waktu yang cukup lama.
Menurut Gagne (1984), belajar adalah sebuah proses yang didalamnya suatu
organisme berubah prilakunya sebagai akibat pengalaman.[3] Dari
pengertian tersebut terdapat tiga unsur pokok dalam belajar, yaitu:
a.
Proses
Belajar adalah proses mental dan emosional atau proses berfikir dalam
merasakan. Seseorang dikatakan belajar apabila pikiran dan perasaanya aktif. Aktivitas pikiran dan perasaan itu tidak dapat diamati oleh orang lain,
tetapi dapat dirasakan oleh orang yang bersangkutan. Belajar tidak hanya
mendengarkan penjelasan guru, karena belajar dapat dilakukan siswa dengan
berbagai cara dan kegiatan, dengan syarat terjadinya interaksi antar individu
dan lingkungan. Misalnya mengamati demonstrasi yang dilakukan oleh guru, siswa
dapat mencoba sendiri, mendiskusikan dengan teman, melakukan eksperimen,
mengerjakan soal dan sebagainya.
b.
Perubahan Prilaku
Hasil belajar akan tampak pada
perubahan prilaku individu yang belajar. Seseorang yang belajar akan mengalami
perubahan prilaku dari akibat atau proses belajarnya. Pengetahuan dan keterampilan bertambah, demikian pula penguasaan nilai-nilai
dan sikap bertambah pula.
c.
Pengalaman
Belajar terjadi karena individu berinteraksi dengan lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan fisik adalah lingkungan
individu, baik dalam bentuk alam sekitar (natural), maupun dalam bentuk
hasil ciptaan manusia (kultural). Adapun lingkungan sosial siswa, diantaranya; guru, orang tua, pustakawan, pemuka masyarakat, kepala sekolah dan
sebagainya.
Belajar merupakan proses internal
yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh
mental, yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dari segi guru proses belajar tersebut dapat diamati secara tidak langsung.
Artinya proses belajar yang merupakan proses internal siswa tidak dapat
diamati, akan tetapi dapat dipahami oleh guru. Proses belajar tersebut tampak
melalui prilaku siswa mempelajari bahan
belajar. Prilaku belajar tersebut merupakan respon siswa terhadap tindakan mengajar
atau tindakan pembelajaran dari guru.[4]
Penggolongan
atau tingkatan jenis prilaku belajar terdiri dari tiga ranah atau kawasan,
yaitu : (a) ranah kognitif, yang mencakup enam jenis dan tingkatan
prilaku, (b) ranah afektif, yang mencakup lima jenis prilaku atau
kemampuan psikomotorik. Masing-masing
ranah dijelaskan berikut ini:
1.
Ranah Kognitif (Bloom, dkk), terdiri dari enam jenis prilaku;
a.
Pengetahuan, mencakup kemampuan ingatan tentang hal-hal yang telah
dipelajari dan tersimpan di dalam ingatan. Pengetahuan tersebut dapat berkenaan dengan fakta, peristiwa,
pengertian, kaidah teori, prinsip, atau metode.
b.
Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap sari dan makna hal-hal yang dipelajari.
c.
Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode, kaidah untuk menghadapi
masalah yang nyata dan baru. Prilaku ini misalnya tampak dalam kemampuan
menggunakan prinsip.
d.
Analisa, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan kedalam bagian-bagian
sehingga sruktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik.
e.
Sintesis, mencakup kemampuan membentuk
suatu pola baru, misalnya tampak di dalam kemampuan menyusun suatu program
kerja.
f.
Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan criteria tertentu. Sebagai contoh kemampuan menilai
hasil karangan.
2.
Ranah Afektif menurut Krathwohl & Bloom dkk, yaitu:
a.
Penerimaan, yang mencakup kepekaan tentang hal tertentu dan kesediaan
memperhatikan hal tersebut.
b.
Partisipasi, yang mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan
berpartisipasi dalam satuan kegiatan.
c.
Penilaian dan penentuan sikap, yang mencakup penerimaan terhadap suatu
nilai, menghargai, mengakui dan menentukan sikap.
d.
Pembentukan pola hidup, yang mencakup kemampuan menghayati nilai, dan membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi.
Jadi, dalam proses ini merupakan proses yang dinamis, dimana siswa
melakukan keaktifan akan dapat secara terus menerus mengembangkan kemampuan dan
kepekaannya untuk mencapai tingkatan-tingkatan kemampuan serta kepekaan yang
lebih tinggi melalui proses belajar yang dilakukan.
3.
Ranah Psikomotor (Simpson), terdiri dari tujuh kemampuan atau kemampuan motorik yaitu:
a)
Persepsi, yang mencakup kemampuan memilahkan sesuatu secara khusus. Contoh
pemilahan warna, angka (6 dan 9), pemilahan huruf (b dan d).
b)
Kesiapan, yang mencakup kemampuan menempatkan diri dalam suatu keadaan dimana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Misalnya start lomba
lari.
c)
Gerakan yang terbimbing, mencakup kemampuan melakukan gerakan tanpa contoh,
atau gerakan peniruan. Misalnya meniru geraka tari.
d)
Gerakan terbiasa, mencakup kemampuan melakukan gerakan-gerakan tanpa
contoh. Misalnya melakukan lempar peluru, lompat tinggi dsb.
e)
Gerakan kompleks, yang mencakup kemampuan melakukan gerakan atau
keterampilan yang terdiri dari banyak tahap secara lancar, efesien dan tepat. Misalnya bongkar pasang peralatan secara tepat.
f)
Penyesuaian pola gerakan, yang mencakup kemampuan mengadakan perubahan dan penyesuaian pola gerak-gerik dengan
persyaratan khusus yang
berlaku. Misalnya kemampuan atau keterampilan bertanding dengan lawan tanding.
g)
Kreatifitas, mencakup kemampuan melahirkan pola-pola gerak-gerik yang baru
atas prakarsa sendiri. Misalnya kemampuan membujat gerakan senam sendiri.
Adapun ciri-ciri perubahan dalam pengertian belajar
menurut Slameto (1987) meliputi :
1)
Perubahan yang terjadi berlangsung
secara sadar, sekurang-kurangnya sadar bahwa pengetahuannya bertamba, sikapnya
berubah, kecakapannya berkembang, dan lain-lain.
2)
Perubahan dalam belajar bersifat
kontinu dan fungsional.
3)
Perubahan belajar bersifat positif
dan aktif.
4)
Perubahan dalam belajar bukan
bersifat sementara.
5)
Perubahan belajar bertujuan dan
terarah.
Perubahan
mencakup seluruh aspek tingkah laku, bukan bagian bagian tertentu secara
parsial.[5]
Selain dari berbagai pengertian dan ciri-ciri tersebut, hal
yang harus diperhatikan adalah tujuan belajar. Tujuan adalah suatu cita-cita
yang ingin dicapai dari pelaksanaan suatu kegiatan. Sebagai unsur penting untuk
suatu kegiatan, maka dalam kegiatan apapun tujuan tidak bisa diabaikan.
Demikian juga halnya dalam kegiatan belajar mengajar, tujuan adalah suatu
cita-cita yang dicapai dalam kegiatannya. Tujuan merupakan komponen yang dapat
mempengaruhi komponen pengajaran lainnya seperti: bahan pelajaran, kegiatan
belajar mengajar, pemilihan metode, alat, sumber dan evaluasi. Semua komponen
itu harus disesuaikan dan didayagunakan untuk mencapai tujuan seefektif dan
seefisien mungkin. Bila salah satu komponen tidak sesuai dengan tujuan, maka pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar tidak akan dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Tujuan memiliki nilai yang sangat penting di dalam
pengajaran. Bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan merupakan faktor yang
terpenting dalam kegiatan dan proses belajar mengajar. Nilai-nilai tujuan dalam
pengajaran diantaranya adalah sebagai berikut:
[6]
a.
Tujuan pendidikan mengarahkan dan
membimbing kegiatan pendidik dan peserta didik dalam proses pengajaran;
b.
Tujuan pendidikan memberikan
motivasi kepada pendidik dan peserta didik;
c.
Tujuan pendidikan memberikan pedoman
dan petunjuk kepada pendidik dalam rangka memilih dan menentukan metode
mengajar atau menyediakan lingkungan belajar bagi peserta didik;
d.
Tujuan pendidikan penting maknanya
dalam rangka memilih dan menentukan alat peraga pendidikan yang akan digunakan;
dan
e.
Tujuan pendidikan penting dalam
menentukan alat/teknik penilaian pendidik terhadap hasil beajar peserta didik.
Ada
bermacam-macam tujuan pendidikan menurut M. J. Langeveld yaitu:[7]
1.
Tujuan umum
Tujuan umum adalah tujuan paling akhir
dan merupakan keseluruhan/kebulatan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan.
Bagi Langeveld tujuan umum atau tujuan akhir, akhirnya adalah kedewasaan, yang
salah satu cirinya adalah tetap hidup dengan pribadi mandiri. Dan menurut Hoogveld
mendidik itu berarti membantu manusia
agar mampu menunaikan tugas hidupnya secara berdiri sendiri.[8]
2.
Tujuan
khusus
Tujuan khusus adalah pengkhususan
tujuan umum atas dasar berbagai hal. Misalnya usia, jenis kelamin, intelegensi,
bakat, minat, lingkungan sosial budaya, tahap-tahap perkembangan, tuntutan
persyaratan pekerjaan dan sebagainya.
3.
Tujuan tidak
lengkap
Tujuan tidak lengkap adalah tujuan
yang hanya menyangkut sebagian aspek kehidupan manusia. Misalnya aspek
psikologis, biologis, sosiologis saja. Salah satu aspek psikologis misalnya
hanya mengembangkan emosi dan pikiran saja.
4.
Tujuan
sementara
Tujuan sementara adalah tujuan yang
hanya dimaksudkan untuk sementara saja, sedangkan kalau tujuan sementara itu
sudah tercapai maka ditinggalkan dan diganti dengan tujuan yang lain. Misalnya:
orang tua ingin agar anaknya berhenti merokok, dengan dikurangi uang sakunya.
Kalau sudah tidak merokok, lalu ditingalkan dan diganti dengan tujuan lain
misalnya agar tidak suka begadang.
5.
Tujuan intermedier
Tujuan intermedier yaitu
tujuan perantara bagi tujuan lainnya yang pokok. Misalnya: anak yang dibiasakan
untuk menyapu halaman, maksudnya agar kelak ia mempunyai rasa tanggung jawab.
Membiasakan membagi-bagi tugas pada anak satu dengan lainnya juga berarti
melatih tanggung jawab dengan maksud agar kelak mereka memiliki rasa tanggung
jawab.
6.
Tujuan
insidental
Tujuan insidental yaitu
tujuan yang dicapai pada saat-saat tertentu, seketika atau spontan. Misalnya:
pendidik menegur anak yang bermain kasar ketika bermain sepak bola. Selain itu,
orang tua yang menegur anaknya untuk duduk dengan sopan.
Dalam bukunya, Djamarah mengatakan
bahwa suatu tujuan pengajaran adalah deskripsi tentang penampilan perilaku (performance)
peserta didik-peserta didik yang kita harapkan setelah mereka mempelajari bahan
pelajaran yang kita ajarkan. Suatu tujuan pengajaran mengatakan suatu hasil
yang kita harapkan dari pengajaran itu dan bukan sekedar suatu proses dari
pengajaran itu sendiri. Akhirnya, pendidik tidak bisa mengabaikan masalah perumusan
tujuan bila ingin memprogamkan pengajaran.[9]
B.
Hakikat
Pembelajaran
Istilah
pembelajaran merupakan perkembangan dari istilah pengajaran. Pembelajaran
adalah upaya yang dilakukan oleh seorang guru atau yang lain untuk
membelajarkan siswa yang belajar.[10]
Secara garis
besar, ada empat pola pembelajaran. Pertama, pola pembelajaran guru
dengan siswa tanpa menggunakan alat bantu atau bahan pembelajaran dalam bentuk
alat raga. Kedua, pola (guru+alat bantu) dengan siswa, ketiga, pola
(guru)+(media) dengan siswa. Keempat, pola media dengan siswa atau pola
pembelajaran jarak jauh menggunakan media atau bahan pembelajaran yang
disiapkan.
Berdasarkan
pola-pola pembelajaran diatas, maka pembelajaran bukan hanya sekedar mengajar
dengan pola satu, akan tetapi lebih dari pada itu, seorang guru harus mampu
menciptakan proses pembelajaran yang bervariasi.
Menurut
paham konvensional, pembelajaran diartikan sebagai bantuan kepada anak
didik yang dibatasi pada aspek intelektual dan keterampilan. Unsur utama dari
pembelajaran adalah pengalaman anak sebagai seperangkat event sehingga terjadi
proses belajar.[11]
Menurut Moh.
Uzer Usman, proses belajar mengajar adalah suatu proses yang mengandung
serangkaian serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal
balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.[12]
Kegiatan
mengajar biasanya diidentikkan dengan tugas guru di sekolah dan dosen di
perguruan tinggi. Mengajar pada hakekatnya adalah melakukan kegiatan belajar,
sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Mengajar
bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu
kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar
berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna,
mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
Ada beberapa
pendapat yang terlalu sempit tentang mengajar, antara lain:
a. Mengajar adalah menyuruh anak
menghafal.
Dalam hal
ini diutamakan latihan dan menghafal fakta-fakta yang diharapkan akan keluar
pada ujian. Guru mempertahankan diri dengan alasan “terpaksa karena ujian”.
Cara mengajar seperti ini mengabaikan minat anak, hubungan dengan kehidupan
anak.
b. Mengajar adalah menyampaikan
pengetahuan
Pengetahuan
hanya salah satu aspek dari tujuan pendidikan, sedangkan yang dituju adalah
pembentukan seluruh pribadi anak. Pengetahuan bukanlah tujuan pendidikan,
melainkan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Mengajar berdasarkan pendirian
ini mengakibatkan hal-hal berikut: Pelajaran bersifat teacher-centered.
Guru menentukan bahan pelajaran. Kemudian Anak-anak tidak turut merancang,
menentukan langkah-langkah, dan menilai hasil pelajaran.
c. Mengajar adalah menggunakan
satu metode mengajar tertentu.
Mengenal
bahan pelajaran belum menjamin kesanggupan mengajarkannya. Mengenal
metode-metode mengajar belum menjamin hasil baik, apabila kita menggunakannya
secara stereotif, artinya menggunakan metode tertentu dalam situasi. Situasi
belajar senantiasa berbeda. Anak didik tahun ini berbeda dengan tahun yang
lalu. Guru harus selalu mencari cara-cara baru untuk menyesuaikan pengajarannya
dengan situasi baru yang dihadapinya.[13]
Ada beberapa
prinsip yang berlaku umum untuk semua guru yang baik:
a. Guru yang
baik memahami dan menghormati siswa.
b. Guru yang
baik harus memahami bahan pelajaran yang diberikannya.
c. Guru yang
baik menyesuaikan metode mengajar dengan bahan pelajaran.
d. Guru yang
baik menyesuaikan bahan pelajaran dengan kesanggupan individu.
e. Guru yang
baik mengaktifkan siswa dalam hal belajar.
f. Guru jangan
terikat oleh satu buku pelajaran (textbook).
Untuk dapat
melaksanakan tugas mengajar dengan baik, guru harus memiliki kemampuan
profesional, yaitu terpenuhinya 10 kompetensi guru, yang meliputi:
1.
Menguasai bahan, yaitu bahan bidang
studi dalam kurikulum sekolah dan bahan penunjang bidang studi.
2.
Mengelola program belajar mengajar.
3.
Mengelola kelas.
4.
Penggunaan media atau sumber.
5.
Menguasai landasan-landasan
pendidikan.
6.
Mengelola interaksi-interaksi
belajar mengajar.
7.
Menilai prestasi siswa untuk
kepentingan pelajaran.
8.
Mengenal fungsi layanan bimbingan
dan penyuluhan di sekolah.
9.
Mengenal dan menyelenggarakan
administrasi sekolah.
10. Memahamai
prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan
belajar.[14]
Mengajar
dapat dipandang sebagai menciptakan situasi dimana diharapkan anak didik dapat
belajar dengan efektif. Situasi belajar terdiri dari berbagai faktor seperti
anak didik, fasilitas, prosedur belajar, cara penilaian. Dalam situasi belajar
itu ada kalanya guru mengatakan apa yang harus dilakukan oleh anak didik (direction),
ada kalanya ia membimbing atau membantu dan memberikan saran kepada anak didik
dalam menyelesaikan
rencana atau
tugas masing-masing (guidance).[15]
Jadi kedua
aspek itu, direction dan guidance terdapat di dalamnya.
Hasil riset terhadap mengajar yang
efektif memberikan indikasi, bahwa terdapat tiga pola belajar yang dapat
efektif yaitu pola mengajar direktif, mengajar nondirektif dan menyerahkan
pengaturan belajar kepada siswa itu sendiri.[16]
Pola mengajar direktif
bercirikan penentuan tujuan intruksional khusus yang harus dicapai oleh semua
siswa. Pola ini menuntun siswa agar menguasai kemahiran serta keterampilan
dasar, dan mendukung usaha siswa yang takut secara negatif akan gagal dalam
belajarnya. Pola mengajar nondirektif bercirikan penyerahan inisiatif
lebih banyak kepada siswa. Pola ini sesuai dengan siswa yang telah terbiasa
bekerja tanpa selalu diawasi langsung oleh tenaga pengajar. Pola menyerahkan
pengaturan belajar kepada siswa sendiri bercirikan pemberian kebebasan
semaksimal mungkin dalam belajarnya, serta penyelesaian berbagi tugas belajar
secara mandiri atau dalam kelompok kecil.
Undang-Undang
Dasar 1945 menginginkan agar setiap warganegara mendapat kesempatan belajar
seluas-luasnya. KPPN (Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional) mengemukakan agar
pendidikan kita bersifat semesta, menyeluruh dan terpadu.[17]
Semesta
berarti bahwa pendidikan dinikmati oleh semua warganegara. Menyeluruh maksudnya
agar ada mobilitas antara pendidikan formal dan non formal, sehingga terbuka
pendidikan seumur hidup bagi setiap warga negara Indonesia. Kemajuan bangsa
hanya dimungkinkan oleh perluasan pendidikan bagi setiap masyarakat dari bangsa
itu sendiri. Pendidikan bukan hanya diperuntukkan bagi suatu golongan elite
yang sangat terbatas, melainkan bagi seluruh rakyat. Setiap pembatasan atau
pengekangan akan berarti kerugian dan penghamburan bakat dan biaya.
C.
Hakekat
belajar mengajar
Belajar yang kita harapkan bukanlah sekedar mendengar, memperoleh atau menyerap
informasi yang disampaikan guru. Belajar harus menyentuh siswa secara mendasar.
Belajar harus dimaknai sebagai kegiatan pribadi siswa dalam menggunakan potensi
pikiran dan nuraninya baik terstruktur maupun tidak terstruktur untuk
memperoleh pengetahuan, membangun sikap dan memiliki keterampilan tertentu.[18]
Dengan demikian belajar merupakan proses
perubahan prilaku berkat pengalaman dan latihan. Artinya, tujuan kegiatan
adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan
maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi. Kegiatan
belajar mengajar seperti pengorganisasian pengalaman belajar, mengolah kegiatan
belajar mengajar, menilai proses, dan hasil belajar, kesemuanya termasuk dalam
cakupan tanggung jawab guru. Jadi hakekat belajar adalah perubahan.
Seperti kita ketahui, dewasa ini terjadi perkembangan yang amat cepat dalam
berbagai aspek kehidupan, baik di bidang politik, ekonomi, kebudayaan,
pertahanan, komunikasi dan sebagainya yang berdampak pada penddikan dan
pembelajaran. Dalam kaitan ini UNESCO sesuai laporannya yang diberi judul Learning: The Tresure Within (1996)
menyampaikan adanya sejumlah tantangan kontroversional yang harus dihadapi
dengan cara menyeimbangkan berbagai tekanan (tension),
yaitu tekanan antara tuntutan global dan lokal, universal dan individual,
pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek, tradisional dengan modern,
antara tuntutan spiritual dengan kebutuhan material, dan sebagainya.[19]
Secara ringkas UNESCO memberikan
empat pilar belajar:
1. Learning to know
Belajar
untuk mengetahui, (learning to know),
berkaitan dengan perolehan, penguasaan
dan pemanfaatan pengetahuan. Belajar untuk mengetahui oleh UNESCO
dipahami sebagai cara dan tujuan dari eksistensi manusia. Hal ini sesuai dengan penegasan
Jacques Delors (1996) sebagai komisi ketua komisi penyusunan laporan Learning:
The Treasure Within, yang menyatakan adanya dua manfaat pengetahuan, yaitu
pengetahuan sebagai cara, (means) dan pengetahuan sebagai hasil atau
tujuan, (end), sebagai cara hidup, terkait keniscayaan bahwa manusia memang wajib
memahami dunia disekelilingnya, minimal sesuai dengan pemenuhan kebutuhannya
untuk menjadi makhluk yang berkehormatan dan memiliki percaya diri,
mengembangkan keterampilan, serta berkomunikasi dengan orang lain.
2.
Learning to Do
Konsep learning to do ini terkait dengan pernyataan pokok, bagaimana
kita mengadaptasikan pendidikan sehingga mampu membekali siswa bekerja untuk
mengisi berbagai jenis lowongan pekerjaan di masa depan? Dalam hal ini
pendidikan diharapkan mampu menyiapkan siswa berkaitan dengan dua hal. Pertama, berhubungan
dengan ekonomi industri, di mana para pekerja memperoleh upah dari
pekerjaannya. Kedua, yaitu suatu usaha yang kita kenal sebagai
wirausaha, para lulusan sekolah menyiapkan jenis pekerjaannya sendiri dan
menggaji dirinya sendiri (self emplopment), dalam semangat
entrepreneurship.
3.
Learning to Live Together
Belajar
untuk hidup bersama, mengisyaratkan keniscayaan interaksi berbagai kelompok dan
golongan dalam kehidupan global yang dirasakan semakin menyempit akibat
kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Agar dapat berinteraksi,
berkomunikasi, saling berbagi, bekerja sama dan hidup bersama, saling
menghargai dalam kesetaraan, sejak kecil anak-anak sudah harus dilatih,
dibiasakan hidup berdampingan bersama, terlebih di negara Indonesia yang
multikultur.[20]
4.
Learning to Be
Yakni
belajar untuk menjadi manusia yang utuh, maka dari itu mengharuskan tujuan
pembelajaran yang sedemikian rupa baik rancangan maupun mengimplementasikannya
terhadap siswa sehingga dapat mencapai manusia yang utuh. Manusia yang utuh
adalah manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan
seimbang, baik aspek ketaqwaan terhadap Tuhan, intelektual, emosi, sosial,
fisik, maupun moral.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istilah pembelajaran merupakan perkembangan dari istilah pengajaran.
Pembelajaran adalah upaya yang dilakukan oleh seorang guru atau yang lain untuk
membelajarkan siswa yang belajar. Secara garis besar, ada empat pola
pembelajaran. Pertama, pola pembelajaran guru dengan siswa tanpa
menggunakan alat bantu atau bahan pembelajaran dalam bentuk alat raga. Kedua,
pola (guru+alat bantu) dengan siswa, ketiga, pola (guru)+(media)
dengan siswa. Keempat, pola media dengan siswa atau pola pembelajaran
jarak jauh menggunakan media atau bahan pembelajaran yang disiapkan. Kegiatan
belajar mengajar seperti pengorganisasian pengalaman belajar, mengolah kegiatan
belajar mengajar, menilai proses, dan hasil belajar, kesemuanya termasuk dalam
cakupan tanggung jawab guru. Jadi hakekat belajar adalah perubahan.
Ada beberapa
prinsip yang berlaku umum untuk semua guru yang baik:
1. Guru yang
baik memahami dan menghormati siswa.
2. Guru yang
baik harus memahami bahan pelajaran yang diberikannya.
3. Guru yang
baik menyesuaikan metode mengajar dengan bahan pelajaran.
4. Guru yang
baik menyesuaikan bahan pelajaran dengan kesanggupan individu.
5. Guru yang
baik mengaktifkan siswa dalam hal belajar.
6. Guru jangan
terikat oleh satu buku pelajaran (textbook).
B.
Saran
Makalah ini
masih banyak kekurangannya, maka dari itu kritik dan saran nya guna agar
makalah kami bisa menjadi lebih baik. Menurut penulis bahwa, banyak
pembelajaran yang terpusat pada guru,
sehingga mengakibatkan peserta didik kurang aktif, oleh karena itu perlu
digeser sedemikian rupa sehingga menjadi lebih terpusat pada peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Ainurrahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran.
Bandung: CV. Alfabeta.
Dimyati,dkk.
2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah, Syaiful Bahri & Aswan
Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Fathurrohman, Pupuh, Sutikno, M.Sobry,
2011, Strategi Belajar Mengajar, Bandung: PT. Refika Aditama.
Hasanah, Aan, 2012, Pengembangan
Profesi Keguruan, Bandung: Pustaka Setia.
J. Mursell dan S. Nasution, 2000, Mengajar dengan Sukses, Jakarta: Bumi
Aksara.
Nanang, Hanafiah, Suhana,
Cucu, 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT. Refika Aditama.
S. Nasution, 2004,
Didaktik Asas-Asas Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara.
S. Nasution, 2008, Berbagai
Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara,
Sanjaya,
Wina,
2008. Strategi
Pembelajaran; Berorentasi setandar Proses Pendidikan, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Siswoyo, Dwi, dkk. 2007. Ilmu
Pendidikan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press.
Soekarlan, Endang. 1969. Pedagogik
Umum. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta.
Subroto, B. Suryo, 1997, Proses Belajar Mengajar di Sekolah , Jakarta: Rineka
Cipta.
Suyono, Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran.Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
W.S. Winkel, 2005, Psikologi Pengajaran , Yogyakarta: Media Abadi.
[1] Nanang
Hanafiah dan Cucu Suhana,
2009, Konsep Strategi Pembelajaran, Bandung: PT.
Refika Aditama. H.
5
[2] Suyono dan Hariyanto, 2011, Belajar
dan Pembelajaran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. H. 9
[3] Wina
Sanjaya, 2008. Strategi Pembelajaran; Berorentasi setandar Proses
Pendidikan, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. H. 26
[5] Pupuh Fathurrohman, M.Sobry
Sutikno, 2011, Strategi Belajar Mengajar, Bandung: PT. Refika Aditama. H.
10, Cet. Ke 5.
[6] Dimyati, dkk, 2009, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta:
Rineka Cipta
[7] Siswoyo, Dwi, dkk, 2007, Ilmu
Pendidikan, Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta Press. H. 26.
[8] Soekarlan, Endang, 1969, Pedagogik
Umum, Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta. H. 29
[9] Djamarah, Syaiful Bahri &
Aswan Zain, 2010, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta. H.
42
[10] Aan Hasanah, 2012, Pengembangan Profesi Keguruan, Pustaka
Setia: Bandung. H. 85
[11] Ibid,.. H. 86
[12] B. Suryo Subroto, 1997, Proses Belajar Mengajar di Sekolah , Jakarta: Rineka
Cipta. H. 19
[13] S. Nasution, 2004, Didaktik Asas-Asas Mengajar , Jakarta: Bumi Aksara.
H. 7
[14] B. Suryo Subroto, 1997, Proses Belajar Mengajar di Sekolah , Jakarta: Rineka
Cipta. H. 4-5
[15] J. Mursell dan
S. Nasution, 2000, Mengajar dengan
Sukses, Jakarta: Bumi Aksara. H. 9
[16] W.S. Winkel, 2005,
Psikologi Pengajaran, Yogyakarta: Media Abadi. H. 490
[17] S. Nasution, 2008, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar
& Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara. H. 36.
[18] Op-Cit,. H. 142
[20] Ibid,.. H. 31-33
No comments:
Post a Comment