PENDIDIK DAN PESERTA
DIDIK
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pendidik
a.
Pengertian
Pendidik
Dari segi bahasa,
seperti yang dikutip Abudin Nata dari WJS, Poerwadarminta pengertian pendidik
adalah orang yang mendidik .[1]
Pengertian ini memberikan kesan, bahwa pendidik adalah
orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Pendidik dalam bahasa
Inggris disebut Teacher, dalam bahasa Arab disebut Ustadz, Mudarris, Mu’alim
dan Mu’adib. Dalam literatur lainya kita mengenal guru, dosen, pengajar, tutor,
lecturer, educator, trainer dan lain sebagainya.
Sedangkan Pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peserta didik,
baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai
dengan nilai-nilai ajaran Islam.[2] Beberapa kata di atas secara
keseluruhan terhimpun dalam kata pendidik, karena keseluruhan kata tersebut
mengacu kepada seorang yang memberikan pengetahuan, keterampilan atau
pengalaman kepada orang lain. Kata-kata yang bervariasi tersebut menunjukan
adanya perbedaan ruang gerak dan lingkungan di mana pengetahuan dan
keterampilan diberikan.
Uraian singkat
di atas tampak bahwa ketika menjelaskan pengertian pendidik selalu dikaitkan
dengan bidang tugas atau pekerjaan. Jika dikaitakan dengan pekerjaan maka
variabel yang melekat adalah lembaga pendidikan, walau secara luas pengertian
pendidik tidak terikat dengan lembaga pendidikan. Ini menunjukan bahwa pada
akhirnya pendidik merupakan profesi atau keahlian tertentu yang melekat pada
seseorang yang tugasnya berkaitan dengan pendidikan. Didalam pendidikan ada
proses belajar mengajar dengan kata lain adalah pengajaran.
Dalam Islam,
orang yang paling bertanggung-jawab terhadap pendidikan adalah orangtua (ayah
dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan oleh dua hal yaitu; pertama, karena kodrat yaitu karena
orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggung-jawab mendidik
anaknya. Kedua, karena kepentingan, kedua orang tua yaitu oran gtua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya.
Pendidik berasal dari kata didik
berarti orang-orang yang memelihara, merawat, menumbuh-kembangkan, dan member
latihan agar seseorang memiliki ilmu npengetaahuan seperti yang diharapkan (
tentang sopan santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya).[3]
Dengan kata
lain, pendidik adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan
peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik
potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).
Pendidik berarti
juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta
didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat
kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu
mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. Dan mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk
individu yang mandiri..
Dalam
konteks pendidikan Islam “pendidik” sering disebut dengan murabbi, mu’allim,
mu’addib, mudarris, dan mursyid.[4] menurut
peristilahan yang dipakai dalam pendidikan konteks Islam, Kelima istilah ini
mempunyai tempat tersendiri dan mempunyai tugas masing-masing, yaitu;
1.
Murabbiy adalah:
orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta
mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan
malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.
2.
Mu’allim adalah:
orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan
fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya,
sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi serta
implementasi.
3.
Mu’addib adalah:
orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam
membangun peradaban yang berkualitas di masa depan. Mencetak manusia menjadi panutan dan model dalam menerapkan peradaban dan
sopan santun.
4.
Mudarris adalah: orang yang memiliki
kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan
keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya,
memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat ,
minat dan kemampuannya.
5.
Mursyid adalah: orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri
atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.
Beberapa kata di atas secara
keseluruhan terhimpun dalam kata pendidik, karena keseluruhan kata tersebut
mengacu kepada seorang yang memberikan pengetahuan, keterampilan atau
pengalaman kepada orang lain. Kata-kata yang bervariasi tersebut menunjukan
adanya perbedaan ruang gerak dan lingkungan di mana pengetahuan dan
keterampilan diberikan. Dari istilah-istilah sinonim di atas, kata pendidik
secara fungsional menunjukan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan
pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya, bisa siapa
saja dan di mana saja.
b.
Syarat-syarat dan
Sifat-sifat Yang Harus dimiliki oleh Seorang Pendidik
Syarat-syarat
umum bagi seorang pendidik adalah: Sehat Jasmani dan Sehat Rohani. Menurut H.
Mubangit, syarat untuk menjadi seorang pendidik yaitu :
1) Harus beragama.
2) Mampu bertanggung jawab atas kesejahteraan
agama.
3) Tidak kalah dengan guru-guru umum lainnya
dalam membentuk Negara yang demokratis.
4) Harus memiliki perasaan panggilan murni.
Sedangkan
sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pendidik adalah :
1) Integritas pribadi, pribadi yang segala
aspeknya berkembang secara harmonis.
2) Integritas sosial, yaitu pribadi yang
merupakan satuan dengan masyarakat.
3) Integritas susila, yaitu pribadi yang telah
menyatukan diri dengan norma-norma susila yang dipilihnya.
Adapun menurut
Prof. Dr. Moh. Athiyah al-Abrasyi, seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat
tertenru agar ia dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, seperti yang
diungkapkan oleh beliau adalah;[5]
1) Memiliki sifat
Zuhud, dalam artian tidak mengutamakan materi dan tujuan mengajar hanya karena mencari ridha Allah.
2) Seorang Guru
harus jauh dari dosa besar.
3) Ikhlas dalam
pekerjaan.
4) Bersifat
pemaaf.
5) Harus
mencintai peserta didiknya.
c.
Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik
Secara umum tugas pendidik islam adalah membimbing dan mengarahkan
pertumbuhan dan perkembangan peserta
didik dari tahap ke tahap kehidupanya sampai mencapai titik kemampuan yang
optimal. Mengenai tugas pendidik, ahli-ahli pendidikan Islam juga ahli
pendidikan Barat telah sepakat bahwa tugas pendidik ialah mendidik. Mendidik
adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk
mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi
contoh, membiasakan, dan lain-lain.
Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang tugas seorang pendidik. Al-Qur’an
telah mengisyaratkan peran para nabi dan pengikutnya dalam pendidikan dan
fungsi fundamental mereka dalam pengkajian ilmu-ilmu Ilahi serta aplikasinya. Isyarat tersebut, salah satunya terdapat dalam firman Allah yang artinya:
Tidak wajar
bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan
kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata):
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali
Imran : 79)
Allah yang Maha Tinggi dan Maha
Agung mengisyaratkan bahwa tugas terpenting yang diemban oleh Rasulullah Saw adalah mengajarkan al-kitab, hikmah dan
penyucian diri sebagaimana difirmankan Allah yang artinya:
Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka
sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka
ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan
Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah : 129)
Pendidik, jika ingin berhasil dalam
kegiatan mendidik anak, harus mematuhi 8 adab atau etika yang bisa dimaknai
juga sebagai tugas kewajiban selaku pendidik yang telah diatur pedomannya
berlandaskan nilai-nilai luhur Islam. Al-Ghazali
-sebagaimana dikutip Al-Abrasy- menjelaskan tugas dan kewajiban pendidik
sebagai berikut :
Pertama, sayang kepada murid
sebagaimana sayangnya kepada anaknya sendiri dan berusah memberi pelajaran yang
dapat membebaskannya dari api neraka. Oleh karena
itu, tugas pendidik adalah lebih mulia dari pada tugas kedua orang tua. Pendidik adalah sebab bagi kebahagiaan dunia
dan akhirat, sedang orang tua hanyalah sebab bagi kelahiran anak ke dalam dunia
fana.
Kedua, mengikuti akhlak dan
keteladanan Nabi Muhamad SAW. Oleh karena itu, seorang pendidik tidak boleh
mengharapkan gaji, upah atau ucapan terima kasih. Ia mengajar harus dengan niat beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ketiga, membimbing murid secara penuh, baik dalam cara belajar maupun dalam
menentukan urutan pelajaran. Ia harus memulai pelajaran dari yang mudah dan
berangsur meningkat kepada yang sukar. Ia harus menjelaskan juga pada murid
bahwa menuntut ilmu itu tidak boleh bercampur dengan niat lain kecuali karena
Allah semata-mata.
Keempat, menasehati murid agar senantiasa berakhlak baik. Ia harus memualai
nasehat itu dari hanya sekedar sindiran serta dengan penuh kasih sayang, tidak
dengan cara dengan terang-terangan, apalagi dengan kasar dan mengejek, yang
malah akan membuat murid menjadi kebal atau keras kepala sehingga nasehat itu
akan menjadi seumpama air dalam dalam keranjang menetes ke dalam pasir.
Kelima, menghindarkan diri dari sikap merendahkan ilmu-ilmu lain di hadapan anak,
misalnya pendidik bahasa mengatakan ilmu fikih tidak penting, pendidik
fikih mengatakan ilmu tafsir tidak perlu dan sebagainya.
Keenam, menjaga agar materi yang diajarkanya sesuai dengan tingkat kematangan dan
daya tangkap muridnya. Ia tidak boleh memberikan pelajaran yang belum
terjangkau oleh potensi intelligensi anak didiknya. Pelajaran yang tidak disesuaikan malah akan membuat
anak benci, merasa terpaksa dan akhirnya malah meninggalkan pelajaran tersebut.
Ketujuh, memilihkan mata pelajaran yang sesuai untuk anak-anak yang
kurang pandai atau bodoh. Ia tidak boleh menyebut-menyebut bahwa di belakang
dari ilmu yang sedang diajarkanya masih banyak rahasia yang hanya ia sendiri
mengetahuinya. Kadang-kadang pendidik, dengan sikap menyembunyikan semacam itu,
ingin memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya sehingga
orang banyak harus berlajar kepadanya.
Kedelapan, mengamalkan ilmunya, serta perkataannya tidak boleh berlawanan dengan
realitas zhahir perbuatannya. Sebab, jika demikian halnya maka murid-murid
tidak akan hormat kepadanya.
Ada beberapa
hal penting yang perlu ditampilkan ke permukaan dari teori Al-Ghazali mengenai
pendidik tersebut. Di antaranya adalah:
1. Mengajar dengan kasih sayang
Al-Ghazali telah mengemukakan teorinya pada abad 9, sedang di Eropa di
zaman reformasi Martin Luther pada abad 15, jadi 6 abad kemudian anak-anak masih dididik dengan kasar.
2. Memperhatikan tingkat kemampuan anak.
Pelajaran harus dimulai dari materi-materi yang
sesuai dengan tingkat kemampuan pemahaman anak. Oleh karena itu pelajaran harus
dimuali dari yang konkrit dan mudah, lalu secara berangsur meningkat kepada
yang abstrak dan sukar.
3. Memberi nasehat dengan kiasan/ kasih sayang.
Dalam memberi nasehat kepada anak (murid) tidak boleh langsung atau secara
blak-blakkan, tetapi harus dimulai dengan sindiran atau kiasan dan
menyampaikanya secara sopan dan lembut. Nasehat yang blak-blakkan hanya diberikan
pada saat-saat tertentu yang dipandang sangat diperlukan.
4. Berakhlak mulia.
Pendidik akan ditiru dan diteladani oleh murid. Oleh karena itu, ia harus berakhlak mulia, berbudi tinggi dan memiliki sikap
toleransi (tasamuh) dalam menghadapi murid-muridnya.
5. Bersikap sebagai motivator.
Setiap murid harus diusahakan berhasil memperoleh ilmu. Untuk itu pendidik
harus bersikap motivator, merangsang murid agar mencintai ilmu dan dengan
bersungguh-sungguh mempelajarinya. Kecintaan tersebut tidak boleh diarahkan
kepada satu atau dua macam ilmu saja. Oleh karena itu ia tidak boleh mengatakan
ilmu yang dimilikinya lebih penting dari pada ilmu yang dikuasai oleh pendidik
yang lain.
6. Memperhatikan perbedaan individual.
Anak-anak, termasuk yang kembar, berbeda antar yang satu dengan yang
lainnya (individual differences). Pendidik harus memperhatikanya dan
menyesuaikan pelajaran dengan kondisi anak agar benar-benar dapat diserap serta
difahaminya dengan baik.
B. Peserta Didik
a. Pengertian Peserta Didik
Peserta
didik secara luas adalah orang yang menjalani pendidikan dan untuk mencapai
tujuan pendidikan. Dapat juga diartikan dengan setiap orang yang menerima
pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan
pendidikan. Sedang dalam arti sempit anak didik ialah anak (pribadi yang belum
dewasa) yang butuh bantuan orang lain untuk mendidik/melatihnya menuju ke arah
kesempurnaan. Dalam perspektif psikologis, peserta didik berarti individu yang
sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun
psikis menurut fitrahnya masing-masing.[6]
Sebagai
individu yang tengah tumbuh dan berkembang, peserta didik memerlukan bimbingan
dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan sesuai
dengan tuntutan fitrahnya. Selain itu, Peserta didik juga merupakan makhluk yang berada dalam proses
perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, mereka memerlukan
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan
fitrahnya.
Didalam
pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau
sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek
pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam
memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian ini,
maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan
pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan. Dasar-dasar kebutuhan anak untuk
memperoleh pendidikan, secara kodrati anak membutuhkan dari orang tuanya.
Dasar-dasar kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang
dimiliki oleh setiap anak dalam kehidupannya, dalam hal ini keharusan untuk
mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih jauh sebenarnya mengandung
aspek-aspek kepentingan, antara lain :
1. Aspek
Paedogogis, dalam aspek ini para pendidik mendorong manusia sebagai animal education, makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataannya manusia dapat
dikategorikan sebagai animal, artinya binatang yang dapat dididik, sedangkan
binatang pada umumnya tidak dapat dididik, melainkan hanya dilatih secara
dresser. Adapun manusia dengan potensi yang dimilikinya dapat dididik dan
dikembangkan kearah yang diciptakan.
2. Aspek Sosiologi
dan Kultural.
Menurut
ahli sosiologi, pada prinsipnya manusia adalah moscrus, yaitu makhluk yang berwatak dan berkemampuan dasar untuk hidup bermasyarakat.
3. Aspek Tauhid.
Aspek tauhid ini adalah aspek pandangan yang mengakui
bahwa manusia adalah makhluk yang
berketuhanan.
b. Tugas dan Kewajiban Peserta Didik
Agar pelaksanaan proses
pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang diinginkan maka setiap peserta
didik hendaknya menyadari
tugas dan kewajibannya.. Menurut Asma Hasan Fahmi tugas dan kewajiban yang
harus dipenuhi peserta didik diantaranya adalah;[7]
a.
Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut
ilmu.
b.
Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai
sifat keimanan.
c.
Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
d.
Peserta didik hendaknya belajar secara bersungguh-sungguh dan tabah dalam
belajar.
Dan adapun kewajiban peserta
didik diantaranya adalah:
a.
Sebelum belajar hendaknya terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala
sifat buruk.
b.
Niat belajar hendaknya ditujukan untuk mengisi jiwa dengan berbagai
fadillah.
c.
Wajib bersungguh-sungguh dalam
belajar, wajib saling mengasihi dan menyayangi diantara sesama, bergaul baik
terhadap guru-gurunya.
c. Sifat-sifat Ideal
Peserta Didik
Dalam upaya
mencapai tujuan Pendidikan Islam, peserta didik hendaknya memiliki dan
menanamkan sifat-sifat yang baik dalam diri dan kepribadiannya. Diantara sifat-sifat ideal yang perlu dimiliki peserta didik misalnya; berkemauan keras atau pantang
menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar, dan tabah, tidak mudah putus
asa dan sebagainya.
Berkenaan dengan sifat ideal
diatas, Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Fatahiyah Hasan Sulaiman,
merumuskan sifat-sifat ideal yang patut dimiliki peserta didik yaitu;[8]
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah.
Mempunyai ahklak yang baik dan meninggalkan yang buruk.
2. Mengurangi kecendrungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi
dan sebaliknya.
3. Bersifat tawadhu’ (rendah hati).
4. Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan dan aliran.
5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji baik ilmu umum dan agama.
6. Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan melalui pelajaran
yang mudah menuju pelajaran yang sulit.
7. Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih kepada ilmu
yang lainnya.
8. Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis
bagi suatu ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat, membahagiakan, serta memberi
keselematan dunia dan akhirat.
C.
Karakteristik Ideal
Pendidik dan peserta didik adalah dua
komponen yang saling terkait. Pendidik bertugas menyelenggarakan kegiatan
belajar, melatih, mengembangkan dan memberikan pelayanan teknis. Sedangkan
peserta didik menerima didikan, latihan dan layanan teknis kependidikan dari
pendidikanya. Untuk mencapai suatu keberhasilan dalam pendidikan ataupun
pelatihan, diperlukan kerjasama antara pendidik dan peserta didik, sebab walau
bagaimanapun pendidik berusaha menanamkan pengaruhnya kepada peserta didik,
apabila tidak ada kesediaan dan kesiapan dari peserta didik sendiri untuk
mencapai tujuan, maka pendidikan sulit untuk berhasil.
Dalam pendidikan, pendidik memegang peran sentral,
baik ia sebagai murabbiy apalagi berfungsi sebagai muaddib. Pendidik dalam ajaran Islam berada pada
posisi strategis yang dapat apresiasi dari Nabi SAW. Pendidik adalah spiritual
father (bapak rohani),
bagi peserta didik karena ia memberikan santapan jiwa dengan ilmu, membina
akhlak mulia, dan meluruskan perilakunya yang buruk.[9] Mengingat signifikannya
keberadaan pendidik, maka menurut perspektif Pendidikan Islam, seorang pendidik itu mesti memiliki karakteristik
ideal. Dalam mengungkap sifat-sifat ideal yang mesti dimiliki oleh pendidik,
cukup mengacu pada sebuah sumber data primer yaitu, Ta’alîm al- Muta’alim
seperti yang telah dirumuskan oleh ‘Abd. Al-Rahman al-Nahlãwiy.[10]
secara umum sebagai berikut;
Pertama, pendidik hendaklah ikhlas dalam
melaksanakan tugas, keikhlasan seorang pedidik dalam melaksanakan tugasnya merupakan
sarana yang paling ampuh untuk kesuksesan peserta didiknya dalam pembelajaran
dan pelatihan (mendidik
dengan hati);
Kedua, pendidik harus memiliki sifat penyabar dalam menghadapi berbagai macam
problema dalam pendidikan dan pelatihan,mengajar dan melatih orang lain karena
mencari ridha Allah. Maka dengan berbagai cara ia berupaya membimbing dan
melatih peserta didiknya;
Ketiga, Pendidik harus memiliki sifat shiddiq, bersifat benar, suka kebenaran, memperjuangkan
kebenaran, dan tetap dalam kebenaran (tidak
mencari-cari pembenaran).
Keempat, pendidik harus suci dan bersih, bersih jiwa
dan bersih hatinya. dan menjaga diri dari perbuatan dosa, suci jiwanya dengan
membebaskan diri dari perilaku sombong, riya, dengki, permusuhan, dan sifat
tercela yang lainnya.
Kelima, pendidik harus memiliki sikap murah hati, bersifat penyantun terhadap
murid-muridnya, mampu mengendalikan dirinya dari bersikap marah, bersikap
lapang dada dan mengetahui perbedaan individualitas dari peserta didiknya;
Keenam, karena tugas yang diemban seorang pendidik
ataupun pelatih sangat menentukan keberhasilan didikan dan latihan,
eksistensinya bukan sebatas melakukan proses transformasi pengetahuan dan
keterampilan, akan tetapi membentuk karakter peserta didik sesuai dengan
nilai-nilai ajaran Islam, maka pendidik ataupun pelatih itu harus memiliki
kepribadian karimah.[11]
Sedangkan
karakteristik peseta didik secara ideal (perspektif Pendidikan Islam ), dapat
dirujuk kepada pendapat Buya HAMKA seperti yang dirumuskan Samsul Nizar berikut
ini :
(1)
Memiliki akhlak mulia; (2) Selalu berupaya mengembangkan ilmu yang sudah
dimiliki; (3) Sabar dan tabah dalam menuntut ilmu;(4) Mengamalkan ilmu
pengetahuan agar beroleh keberkatan;(5) Dapat mengendalakikan diri,
membersihkan hati dan tidak merasa sombong;(6) Selalu merendahkan diri di
hadapan pendidiknya dan santun kepada mereka; dan (7).Berbakti kepada orang tua.[12]
D. Pola Hubungan
Pendidikan tidak akan sampai kepada
tujuan yang ditargetkan bilamana salah satu dari dua unsur yang saling terkait
(pendidik dan peseta didik) tidak bersinergis dalam pembelajaran. Oleh sebab
itu, perlu menjalin hubungan yang harmonis antara pendidik dengan peserta
didik, bahkan menurut Hasan al-Banna, hubungan antara pendidik dengan anak
didik itu seharusnya bagaikan orang tua dan anak yang memiliki kedekatan secara
emosional. Peserta didik biasanya akan lebih mudah menerima pelajaran kalau
mereka dikondisikan dalam situasi nyaman dan merasa dihargai layaknya di rumah
sendiri. Pendidik ataupun pelatih harus pandai mendekati peserta didiknya dan
menciptakan situasi yang menyenangkan sebelum pembelajaran dimulai, juga harus
bisa membuat mereka tetap bersikap santun.
Trust (kepercayaan) adalah unsur paling penting yang
harus ada dalam hubungan pendidik dengan peserta didik. Jika peseta didik tidak
memiliki kepercayaan yang bulat dan mendalam kepada pendidiknya, maka sebaik apa pun kemampuan
menguasai materi, tidak akan berpengaruh banyak pada keberhasilan pendidikan.
Peserta didik mungkin menguasai materi pelajaran dengan baik, tetapi ia tidak
berhasil membangun jiwanya.[13]
Dalam mendidik umat, Mohammad Natsir sebagai seorang maestro ternyata kunci keberhasilannya dalam
mendidik umat, ia menampakkan hubungan yang harmonis dengan mereka, akrab tapi tegas.
Bahkan di waktu luang, ia datang berkunjung ke rumah-rumah mereka, dan sering
datang bersilaturrahim ke rumah-rumah orang tua mereka.[14]
Tuntutan terhadap pendidik agar membangun hubungan dengan peserta didik dan
berupaya menyenangkan hati mereka dalam mengikuti pembelajaran, semakin menjadi
issu dalam dunia pendidikan.
Sebab menurut Seto, bilamana suasana menyenangkan telah
tercipta, maka peserta didik akan lebih semangat dalam menerima pelajaran[i].[15]
Adanya rasa kasih sayang dari pendidik kepada
peserta didik tentunya bukanlah sesuatu yang aneh terutama dalam pendidikan
Islam, sebab para pakar pendidikan Islam sebelumnyapun selalu mewanti-wanti
terhadap seseorang yang akan bertugas sebagai pendidik. Ibn Qayyim umpamanya
sangat ketat dalam mensyaratkan dan memilih seseorang yang akan mengemban tugas
sebagai murabbyi, ia harus memiliki persyaratan berikut :
1) Kasih sayang
kepada yang kecil dan selalu menghibur mereka, menganggap mereka sebagai
anaknya dan menjadikan dirinya sebagai bapakny.;
2)
Merealisasikan wasiat Rasul SAW
mengenai perintah agar selalu memeperhatikan anak didiknya;
3)
Peran dan tugas seorang murabbiy
tidak hanya terbatas pada mentransfer ilmu kepada anak didiknya dan tidak pula
merasa cukup hanya dengan mengembangkan sisi ilmiah belaka dengan memberikan
teori-teori keilmuan, tetapi di samping tugas yang demikian, dia juga
bertanggung jawab untuk mengawasi amaliah anak didiknya dan akhlak mereka di
majlis ilmunya;
4)
Kasih sayang dan kelembutan seorang
murabbiy kepada anak didiknya, namun tidak berarti menghalanginya untuk memberi
hukuman kepada mereka jika memang hukuman itu diperluka"[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam pendidikan, pendidik memegang peran sentral, baik ia sebagai murabbiy apalagi berfungsi sebagai muaddib. Pendidik dalam ajaran Islam berada pada posisi
strategis yang dapat apresiasi dari Nabi SAW. Pendidik adalah spiritual father (bapak rohani), bagi peserta didik karena ia
memberikan santapan jiwa dengan ilmu, membina akhlak mulia, dan meluruskan
perilakunya yang buruk. Pendidik dan peserta didik adalah dua komponen yang
saling terkait. Pendidik bertugas menyelenggarakan kegiatan belajar, melatih,
mengembangkan dan memberikan pelayanan teknis. Sedangkan peserta didik menerima
didikan, latihan dan layanan teknis kependidikan dari pendidikanya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh
pendidik yaitu; (a) Mengajar dengan kasih sayang,
(b) Memperhatikan tingkat kemampuan anak, (c) Memberi nasehat dengan kiasan/ kasih sayang, (d) Berakhlak mulia, (e) Bersikap
sebagai motivator, (f) Memperhatikan
perbedaan individual. Sedangkan karakteristik peseta
didik secara ideal berikut
ini: (1) Memiliki
akhlak mulia; (2) Selalu berupaya mengembangkan ilmu yang sudah dimiliki; (3)
Sabar dan tabah dalam menuntut ilmu;(4) Mengamalkan ilmu pengetahuan agar
beroleh keberkatan;(5) Dapat mengendalakikan diri, membersihkan hati dan tidak
merasa sombong;(6) Selalu merendahkan diri di hadapan pendidiknya dan santun
kepada mereka; dan (7).Berbakti kepada orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd. Al-Rahman al-Nahlãwiy, Ushũl
al-Tarbiyah al-Islãmiyyah wa Asãlibuhã fî al-Bait wa al-Madrasah wa
al-Mujtama’, 1979, Damaskus : Dãr al-Fikr.
Al- Rasyidan dan Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, 2005, Jakarta:
Ciputat Pres.
Ashraf,
Ali,
Harison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, 1989, Jakarta : Pustaka Firdaus,
Hasan
bin 'Ali al-Hijãziy, Manhaj Tarbiyah Ibn Qayyim, terj. Muzaidi
Hasbullah, 2001, Jakarta
: Pustaka Alkautsar.
http://elearning.unesa.ac.id/tag/konsep-pendidik-dan-peserta-didik, diunduh tanggal 8 Pebruari 2012
http://majalah.hidayatullah.com/?p=212, diunduh
tanggal 8 Pebruari 2012
http://tanbihun.com/pendidikan/pendidik-dalam-pendidikan-islam/ diunduh tanggal 8 Pebruari 2012
Mulyadi,
Seto,
dalam " Guru harus bias menyenangkan
murid" 2009, Padang; Harian Haluan
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, 2005, Jakarta: Gaya Media Utama.
Nizar, Samsul, filsafat pendidikan Islam, 2002,
Jakarta; Jakarta pres.
Nizar,
Samsul, Seabad Buya Hamka,
Memperbincangkan Dinamika Inteletual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan
Islam, 2008,
Jakarta :
Prenada Media Group
Rosidi, Ajib, M. Natsir Sebuah Biografi, Jakarta. PT
Gimukti Pasaka 1990, h. 180
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1991, Jakarta: Balai pustaka.
Yasyin, Sulchan, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 1997, Surabaya: Amanah.
[6] http://elearning.unesa.ac.id/tag/konsep-pendidik-dan-peserta-didik, diunduh tanggal 8 Pebruari 2012
[7]
Al- Rasyidan dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Ciputat Pres.2005,hal...50-51
[10] ‘Abd. Al-Rahman al-Nahlãwiy, Ushũl
al-Tarbiyah al-Islãmiyyah wa Asãlibuhã fî al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’
( Damaskus : Dãr al-Fikr, 1979), h. 172-176
[11] Ali
Ashraf, Harison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1989, h.vii
[12] Samsul
Nizar, Seabad Buya Hamka, Memperbincangkan Dinamika Inteletual dan
Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, Jakarta : Prenada Media Group,
2008, 154
[16] Hasan bin
'Ali al-Hijãziy, Manhaj Tarbiyah Ibn Qayyim, terj. Muzaidi Hasbullah,
Jakarta: Pustaka Alkautsar, 2001,
h. 304-307
No comments:
Post a Comment