PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Korupsi di negeri ini sekarang sedang merajalela
bahkan telah menjadi suatu “kebiasaan”. Berbagai upaya telah dilakukan
pemerintah dalam menangani korupsi dan hukum yang sangat tegas. Namun, tetap
saja korupsi masih terdapat di negeri ini. Salah satu mengapa orang berani
melakukan tindak pidana korupsi yaitu karena kurangnya kesadaran pribadi
tentang bahaya korupsi. Tentu saja kita tidak bisa menyadarkan para koruptor
karena mereka sudah terlanjur terbiasa dengan tindakannya tersebut.
Jadi, salah satu upaya jangka panjang yang terbaik
untuk mengatasi korupsi adalah dengan memberikan pendidikan anti korupsi dini
kepada kalangan generasi muda sekarang. Karena generasi muda adalah generasi
penerus yang akan menggantikan kedudukan para penjabat terdahulu. Juga karena
generasi muda sangat mudah terpengaruh dengan lingkungan di sekitarnya. Jadi,
kita lebih mudah mendidik dan
memengaruhi generasi muda supaya tidak melakukan tindak pidana korupsi sebelum
mereka lebih dulu dipengaruhi oleh “budaya” korupsi dari generasi pendahulunya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan korupsi ?
- Apa saja bentuk-bentuk korupsi
?
- Apa saja
faktor-faktor penyebab korupsi ?
- Bagaimanakah pendidikan
antikorupsi bagi mahasiswa ?
- Bagaimanakah model pendidikan antikorupsi
di Perguruan Tinggi ?
6. Apa saja nilai-nilai dan prinsip-prinsip anti korupsi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Korupsi
Kata “korupsi” berasal
dari bahasa Latin “corruptio”. Secara harafiah, arti kata korupsi adalah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
dan penyimpangan dari kesucian. Di Malaysia korupsi disebut dengan “resuah”
yang berasal dari bahasa Arab “risywah”, kata tersebut memiliki arti
suap menyuap yang identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT.
Mencari suap, menyuap dan menerima suap adalah haram, begitu juga dengan
mediator antara penyuap dan yang disuap.[1]
Korupsi berasal dari kata Latin “Corruptio” atau “Corruptus”
yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis “Corruption”, dalam bahasa Belanda “Korruptie” dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan
“Korupsi” (Dr. Andi Hamzah, S.H.,
1985: 143). Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1977: 149), sedangkan A.I.N Kramer ST.
menerjemahkannya sebagai busuk, rusak, atau dapat disuapi (A.I.N. Kramer ST. 1997: 62). Oleh karena itu, tindak pidana korupsi
berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.[2]
Selanjutnya, terdapat beberapa pengertian lain di Indonesia yang berkaitan
dengan korupsi, yaitu:
1.
Korup artinya busuk, suka menerima
uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.
2.
Korupsi artinya perbuatan busuk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.
3.
Koruptor artinya orang yang
melakukan korupsi.
Dengan demikian, Puspito & Tim Penyusun menyimpulkan
bahwa arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak.
Berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut sesuatu yang
bersifat amoral,
sifat, dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur
pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut
faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam
kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.[3]
Selain itu, Pratiwi (2011)
menyebutkan dua pengertian korupsi dari Transparency International dan
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut Transparency International, korupsi
adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain. Di samping itu, berdasarkan Undang-undang
RI No. 31 Tahun 1999 Pasal 3, hukuman tindak pidana korupsi dijatuhkan kepada
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara”.[4]
Dari beberapa pengertian di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah perbuatan yang busuk, tidak jujur,
dan amoral. Korupsi adalah suatu perilaku yang dengan sengaja memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu kelompok dengan cara yang menyimpang dan
illegal, dimana perilaku tersebut merugikan negara atau pemerintah atau rakyat
atau sebuah instansi. Korupsi dipandang haram dalam agama Islam, dan korupsi
juga merupakan hal yang melanggar hukum, dimana para pelaku korupsi harus
dikenakan hukuman pidana sesuai peraturan dalam Undang-undang RI No. 31 Tahun
1999.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari
hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda
dengan hukum pidana khusus, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta
apabila ditinjau dari materi yang diatur maka tindak pidana korupsi secara
langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya
kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Dengan
diantisipasi sedini dan seminimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan
roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya
sehingga lambat laun akan membawa daampak adanya peningkatan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya.[5]
Selama ini korupsi lebih banyak dimaklumi oleh berbagai
pihak dari pada memberantasnya, padahal tindak pidana korupsi adalah salah satu
jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak
asasi, ideologi negara, perekonomian, keuangan negara, moral bangsa, dan
sebagainya, yang merupakan perilaku jahat yang cenderung sulit untuk
ditanggulangi. Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari
banyak diputus bebasnya terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau minimnya
pidana yang ditanggung oleh terdakwa yang tidak sebanding dengan apa yang
dilakukannya.
Hal ini sangat merugikan negara dan menghambat
pembangunan bangsa. Jika ini terjadi secara terus-menerus dalam waktu yang
lama, dapat meniadakan rasa keadilan dan rasa kepercayaan atas hukum dan
peraturan perundang-undangan oleh warga negara. Perasaaan tersebut memang telah
terlihat semakin lama semakin menipis dan dapat dibuktikan dari banyaknya
masyarakat yang ingin melakukan aksi main hakim sendiri kepada pelaku tindak
pidana di dalam kehidupan masyarakat dengan mengatasnamakan keadilan yang tidak
dapat dicapai dari hukum, peraturan perundang-undangan, dan juga para penegak
hukum di Indonesia.[6]
Korupsi dikenal pembuktian terbalik terbatas yaitu orang
yang diteriksa harta bendanya oleh pengadilan tinggi wajib memberikan
keterangan secukupnya yaitu mengenai harta benda sendiri dan harta benda orang
lain yang dipandang erat hubungannnya menurut ketentuan pengadilan tinggi.[7] Perbuatan korupsi tidak
mungkin hapus dari muka bumi ini hanya dengan
mengeluarkan sebuah peraturan, bahkan dengan mengeluarkan sebuah peraturan,
bahkan dengan ancaman pidana yang cukup berat, yaitu pidana mati pun. Usaha
pembentuk undang-undang melalui pembuatan paraturan tersebut terbatas, apabila
tidak dibarengi dengan
pemberantasan korupsi ini dengan tindakan-tindakan lain, seperti bidang politik,
ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Gejala yang dialami oleh Indonesia tersebut
juga muncul di negara-negara berkembang yang lain di dunia.[8]
B.
Bentuk-Bentuk
Korupsi
Terdapat 6 (Enam) bentuk-bentuk
korupsi menurut KPK (2006), keenam bentuk korupsi tersebut yaitu:
1.
Perbuatan melawan hukum, memperkaya
diri orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian negara.
2.
Menyalahgunakan kewenangan karena
jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.
3.
Penggelapan dalam jabatan.
4.
Pemerasan dalam jabatan.
5.
Tindak pidana yang berkaitan dengan
pemborongan.
6.
Delik gratifikasi.
Kemudian keenam bentuk-bentuk
korupsi tersebut dijelaskan masing-masing pengertian perbuatannya oleh Puspito
& Tim Penyusun seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini. Berikut
adalah penjelasan dari masin-masing bentuk korupsi.[9]
Tabel 2.1 Bentuk-bentuk Korupsi
No.
|
Bentuk Korupsi
|
Perbuatan Korupsi
|
1
|
Kerugian
Keuangan Negara
|
a. Secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau korporasi.
b. Dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada.
|
2
|
Suap
Menyuap
|
a. Memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya.
b. Memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara.
c. Memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada advokat untuk menghadiri sidang pengadilan
dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan,
berhubung dengan perkara.
d. Hakim yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan untuk memepengaruhi putusan perkara.
|
3
|
Penggelapan
dalam Jabatan
|
a. Pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
uang/surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
b. Pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat
atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat
yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.
|
4
|
Pemerasan
|
a. Pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri.
|
5
|
Perbuatan
Curang
|
a. Pemborong,
ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan
yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang
dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam
keadaan perang.
b. Setiap
orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara
RI melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara
dalam keadaan perang.
|
6
|
Gratifikasi
|
a. Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
tugasnya.
|
Sumber: Puspito & Tim Penyusun (2011: 25-27)
C.
Faktor-faktor
Penyebab Korupsi
Korupsi disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain yaitu:
1.
Sistem pemerintahan dan birokrasi
yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan.
2.
Belum adanya sistem kontrol dari
masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan
perundang-perundangan yang tegas.
3.
Tindak lanjut dari setiap penemuan
pelanggaran yang masih lemah dan belum menunjukkan “greget” oleh
pimpinan instansi.
Lebih lanjut lagi, penyebab
terjadinya korupsi dibagi dalam tiga aspek. Pertama, aspek prilaku individu
organisasi. Kedua, aspek organisasi. Ketiga, aspek masyarakat tempat individu
dan organisasi berada.[10]
Sedangkan Syam (2000) menjelaskan
bahwa penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan
dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk
menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa
diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan
korupsi. Jadi, jika menggunakan cara pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu
penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap
kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan.
Korupsi dengan demikian akan terus berlangsung, selama masih terdapat kesalahan
tentang cara memandang kekayaan. Semakin banyak orang salah dalam memandang
kekayaan, maka semakin besar pula kemungkinan orang akan melakukan kesalahan
dalam mengakses kekayaan.[11]
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengidentifikasi
empat faktor penyebab korupsi.[12]
Berikut adalah keempat faktor penyebab korupsi dan penjelasannya.
a.
Faktor
Politik
Politik merupakan salah satu
penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi instabilitas
politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih dan
mempertahankan kekuasaan. Korupsi politik misalnya perilaku curang (politik
uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana
ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui
cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang. Formula proses terjadinya
korupsi adalah M+D–A=C. M adalah monopoly, D adalah discretionary,
dan A adalah accountability. Maka, dapat dikatakan bahwa korupsi adalah
hasil dari adanya monopoli (kekuasaan) ditambah dengan kewenangan yang begitu
besar tanpa keterbukaan dan pertanggungjawaban.
b. Faktor Hukum
Faktor hukum bisa dilihat dari dua
sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi lain lemahnya penegakan
hukum. Tindakan korupsi mudah timbul karena kelemahan dalam peraturan
perundang-undangan, yang mencakup: (1) adanya peraturan UU yang bermuatan
kepentingan pihak-pihak tertentu, (2) kualitas peraturan UU kurang memadai, (3)
peraturan kurang disosialisasikan, (4) sanksi yang terlalu ringan, (5)
penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, (6) lemahnya bidang
evalusi dan revisi peraturan UU. Sedangkan lemahnya penegakan hukum disebabkan
oleh tawar-menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan di
parlemen, sehingga muncul aturan yang bias dan diskriminatif. Serta praktek
politik uang dalam pembuatan hukum berupa suap menyuap, utamanya menyangkut
perundang-undangan di bidang ekonomi dan bisnis.
c. Faktor
Ekonomi
Faktor ekonomi juga merupakan salah
satu penyebab terjadinya korupsi. Hal itu dapat dijelaskan dari pendapatan atau
gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Selain rendahnya gaji pegawai, salah satu
aspek ekonomi lain yang menjadi penyebab terjadinya korupsi adalah kekuasaan
pemerintah yang dibarengi dengan faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah
untuk memenuhi kekayaan mereka dan kroninya.
d. Faktor
Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah
organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan
masyarakat. Bila organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi
seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek
penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (1)
kurang adanya teladan dari pimpinan, (2) tidak adanya kultur organisasi yang
benar, (3) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, dan (4)
manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Selanjutnya Puspito & Tim
Penyusun merumuskan beberapa aspek penyebab korupsi yang terbagi dalam dua
faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Berikut adalah faktor
internal yang merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri, dapat dirinci
sebagai berikut:[13]
1.
Aspek
Perilaku Individu
Aspek ini
ditandai dengan perilaku individu yang memiliki sifat tamak/rakus, moral yang
kurang kuat, dan gaya hidup yang konsumtif.
2.
Aspek Sosial
Perilaku
korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa
lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk
korupsi. Kemudian faktor eksternal yang merupakan pemicu perilaku korup yang
disebabkan oleh faktor di luar diri pelaku adalah:
3.
Aspek Sikap
Masyarakat Terhadap Korupsi
Sikap
masyarakat yang berpotensi menyuburkan tindak korupsi terjadi karena
nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi, masyarakat kurang
menyadari bahwa korban utama korupsi adalah masyarakat sendiri, masyarakat
kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi, dan Masyarakat kurang menyadari
bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam
agenda pencegahan dan pemberantasan.
4.
Aspek Ekonomi
Pendapatan
tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang
mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang
bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan
korupsi.
5.
Aspek
Politis
Instabilitas
politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan sangat
berpotensi menyebabkan perilaku korupsi.
6.
Aspek
Organisasi
Penyebab
korupsi yang termasuk dalam aspek organisasi adalah kurang adanya sikap
keteladanan pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, kurang
memadainya sistem akuntabilitas, kelemahan sistim pengendalian manajemen, dan
lemahnya pengawasan.
Dari beberapa penjelasan di atas
mengenai faktor-faktor penyebab korupsi, maka dapat dibuat suatu kesimpulan
bahwa penyebab utama korupsi adalah perilaku individu itu sendiri. Apabila
individu tersebut memiliki cara pandang yang menyimpang dalam melihat kekayaan,
maka hal itu dapat mendorong individu untuk melakukan korupsi. Individu yang
termasuk dalam golongan tersebut adalah mereka yang bersifat tamak, kurang
iman, dan konsumtif.
Kemudian perilaku individu tersebut
didukung dengan adanya kesempatan. Kesempatan itu dapat berasal dari beberapa
aspek, seperti kesempatan yang timbul dari lingkungan atau organisasi yang
cenderung mendukung terjadinya korupsi. Selanjutnya kesempatan yang timbul dari
aspek politik, yaitu dengan adanya kecurangan untuk melakukan politik uang
dengan tujuan tertentu. Aspek hukum juga bisa mendukung terjadinya korupsi,
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa lemahnya peraturan
perundang-undangan dan lemahnya penegakan hukum dapat memberikan kesempatan
bagi para pelaku korupsi. Berikutnya yaitu aspek ekonomi, meskipun rendahnya
tingkat gaji bukan alasan mutlak seseorang melakukan korupsi, namun dalam
keadaan tertentu hal tersebut mungkin terjadi. Dikatakan bukan merupakan faktor
mutlak karena selama ini banyak sekali ditemukan para pelaku korupsi yang telah
memiliki jumlah kekayaan melimpah, tapi tetap melakukan korupsi.
D.
Pemberian
Pendidikan Antikorupsi Bagi Mahasiswa
Mahasiswa merupakan salah satu pilar
penting dalam membangun bangsa. Potensi dan energi yang dimiliki oleh generasi
muda (mahasiswa) menjadi sebuah keistimewaan tersendiri dibanding kaum lainnya.
Sebagai pewaris syah negeri ini mahasiswa memiliki kewajiban untuk turut andil
dalam setiap upaya perbaikan bangsa. Dalam perjuangan kaum muda mahasiswa
senantiasa berada di garda terdepan. Akan tetapi mahasiswa yang terlibat aktif
dan ikut turun kejalan dalam usaha pemberantasan korupsi masih belum
representatif. Seharusnya ini menjadi sebuah catatan penting bagi semua, karena
begitu pentingnya peranan mahasiswa sebagai generasi pelanjut. Mahasiswa
memiliki potensi positif dan negatif. Positifnya mahasiswa bisa menjadi aktor
pemberantasan korupsi tapi negatifnya mahasiswa bisa saja menjadi pelaku
korupsi dimasa datang.
Menurut Qalbi (2011), berkaca dari
usaha pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, mahasiswa
terkesan dipinggirkan dan dipandang sebelah mata. Padahal sekali lagi mahasiswa
adalah pewaris sah negeri ini mereka menjadi salah satu pilar bahkan penentu
keberlangsungan bangsa dimasa mendatang. Pertama, mahasiswa adalah golongan
yang dipersiapkan untuk mengisi lapisan kekuasaan. Kedua, kebanyakan struktur
ekonomi akan diisi oleh mahasiswa. Ketiga, mahasiswa adalah golongan terdidik
dan sebagian dipersiapkan untuk menjadi pendidik.[14]
Begitu besarnya peranan mahasiswa
dimasa mendatang seharusnya menjadi perhatian khusus oleh pemerintah terutama
dalam hal pemberantasan korupsi. Usaha pemberantasan korupsi melalui perbaikan
dan penguatan peran para penegak hukum serta reformasi sistem pemerintahan
harusnya juga diiringi dengan usaha pencegahan. Mahasiswa memiliki potensi
besar untuk melakukan korupsi sekaligus meberantas korupsi dimasa mendatang.
Oleh karena itu pemberdayaan mahasiswa dalam hal pemberantasan korupsi adalah kunci
tindakan preventif (pencegahan) yang harus dilakukan.
Salah satu poin penting yang harus
dilakukan pemerintah dalam hal tindakan preventif (pencegahan) serta
pemberantasan korupsi adalah dengan memberikan Pendidikan Antikorupsi untuk
merevitalisai atau membangun kembali kebanggaan terhadap budaya anti korupsi
serta moralitas mahasiswa. Suram sekali kelihatannya nasib bangsa dikemudian
hari bila pemuda hanya menjadi orang yang bebas dari sekedar buta huruf.
Ungkapan tersebut diartikan bahwa, pendidikan tidak hanya sebatas menjadikan
generasi muda (mahasiswa) melek huruf. Tapi, lebih dari itu berperan dalam enlighten
(mencerahkan), mencerdaskan, dan membuka pola pikir mahasiswa. Perguruan tinggi
sebagai tempat mahasiswa hidup dan belajar seharusnya disertakan didalamnya
mengenai pemberantasan korupsi berupa mata kuliah wajib agar tertanam semangat
pemberantasan korupsi.
Lebih lanjut lagi, Puspito & Tim
Penyusun mengatakan bahwa dengan adanya Pendidikan Antikorupsi, maka mahasiswa
akan memiliki kompetensi dalam pemberantasan korupsi. Dengan kompetensi yang
dimiliki tersebut, mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mampu
menyuarakan kepentingan rakyat, mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan yang
koruptif, dan mampu menjadi watch dog lembaga-lembaga negara dan penegak
hukum. Dengan demikian maka mahasiswa dapat terlibat secara utuh dalam gerakan
antikorupsi.[15]
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan
anti korupsi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi empat wilayah, yaitu di
lingkungan keluarga, di lingkungan kampus, di masyarakat sekitar, dan di
tingkat lokal/nasional.
a.
Lingkungan
Keluarga
Internalisasi karakter anti korupsi
di dalam diri mahasiswa dapat dimulai dari lingkungan keluarga. Kegiatan
tersebut dapat berupa melakukan pengamatan terhadap perilaku keseharian anggota
keluarga. Misalnya, apakah dalam mengendarai kendaraan bermotor bersama anggota
keluarga, peraturan lalu lintas dipatuhi? Apakah tidak menjalankan motornya di
atas pedestrian dan mengambil hak pejalan kaki? Apakah penghasilan orang tua
tidak berasal dari tindak korupsi? Apakah orang tua tidak menyalahgunakan
fasilitas kantor yang menjadi haknya? Nilai-nilai yang ditanamkan orang tua
kepada anak-anaknya bermula dari lingkungan keluarga dan pada kenyataannya
nilai-nilai tersebut akan terbawa selama hidupnya. Jadi, ketika seorang
mahasiswa berhasil memilah nilai-nilai yang ditanamkan orang tuanya dengan
hanya mengambil nilai-nilai positif, maka dapat diharapkan ketika terjun ke
masyarakat mahasiswa tersebut akan selamat melewati berbagai rintangan yang
mengarah kepada tindak korupsi. Jika Pendidikan Antikorupsi diikuti oleh banyak
Perguruan Tinggi, maka akan diperoleh cukup banyak generasi muda yang dapat
menjadi benteng anti korupsi di Indonesia.
b. Lingkungan
Kampus
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan
anti-korupsi di lingkungan kampus dapat dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu
untuk individu mahasiswanya sendiri, dan untuk komunitas mahasiswa. Untuk
konteks individu, seorang mahasiswa diharapkan dapat mencegah agar dirinya
sendiri tidak berperilaku koruptif dan tidak korupsi. Sedangkan untuk konteks
komunitas, seorang mahasiswa diharapkan dapat mencegah agar rekan-rekannya
sesama mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan di kampus tidak berperilaku
koruptif dan tidak korupsi. Agar seorang mahasiswa dapat berperan dengan baik
dalam gerakan anti-korupsi maka pertama-pertama mahasiswa tersebut harus
mempunyai nilai-nilai anti-korupsi dan memahami korupsi serta prinsip-prinsip
anti-korupsi. Kedua hal ini dapat diperoleh salah satunya dari kuliah
pendidikan antikorupsi.
c.
Lingkungan
Masyarakat Sekitar
Hal yang sama dapat dilakukan oleh
mahasiswa atau kelompok mahasiswa untuk mengamati lingkungan di lingkungan
masyarakat sekitar. Salah satu contohnya adalah, apakah kantor-kantor pemerintah
menjalankan fungsi pelayanan, seperti pembuatan KTP untuk masyarakatnya dengan
sewajarnya? Bayangkan berapa jumlah rupiah yang bisa diselamatkan, apabila ada
25 juta orang yang mengurus KTP dalam 1 tahun, dan setiap orang mengeluarkan
“uang sogokan” sebesar Rp.5.000. Maka dalam tahun tersebut akan terkumpul uang
sebesar Rp.125.000.000.000. Dengan uang sebesar itu berapa anak sekolah yang
bisa dibiayai, berapa orang sakit yang bisa berobat, berapa kilometer ruas
jalan yang bisa dibangun, berapa jembatan yang bisa dibangun, berapa gedung
sekolah yang bisa didirikan? Jumlah tersebut tentunya akan memberikan manfaat
yang lebih baik bagi masyarakat, apabila gerakan antikorupsi terus dibudayakan.
d. Lingkungan
Nasional
Dalam konteks nasional, keterlibatan
seorang mahasiswa dalam gerakan antikorupsi bertujuan agar dapat mencegah
terjadinya perilaku koruptif dan tindak korupsi yang masif dan sistematis di
masyarakat. Mahasiswa dengan kompetensi yang dimilikinya dapat menjadi pemimpin
(leader) dalam gerakan massa anti korupsi baik yang bersifat lokal
maupun nasional. Berawal dari kegiatan-kegiatan yang terorganisir dari dalam
kampus, mahasiswa dapat menyebarkan perilaku anti korupsi kepada masyarakat
luas, dimulai dari masyarakat yang berada di sekitar kampus kemudian akan
meluas ke lingkup yang lebih luas. Kegiatan-kegiatan anti korupsi yang
dirancang dan dilaksanakan secara bersama dan berkesinambungan oleh mahasiswa
dari berbagai Perguruan Tinggi akan mampu membangunkan kesadaran masyarakat
akan buruknya korupsi yang terjadi di suatu negara.
E.
Model
Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi
Korupsi telah mewabah hampir pada
seluruh sendi kehidupan bangsa Indonesia. Kejahatan luar biasa ini memerlukan
upaya yang luar biasa untuk memberantasnya. Salah satu upaya untuk
memberantasnya adalah memberikan pembekalan kepada mahasiswa sebagai pewaris
masa depan.[16] Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen Dikti
Kemdikbud) telah bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
menyelenggarakan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi di seluruh
Indonesia.
Dikti memberikan wewenang bagi
pengelola Perguruan Tinggi untuk menjadikan Pendidikan Antikorupsi sebagai
pelajaran sisipan, mata kuliah pilihan ataupun wajib. Bahkan Dalam rangka
persiapan pembelajaran pendidikan anti korupsi di perguruan tinggi, Dikti dan
KPK telah melaksanakan kegiatan Training of Trainers (TOT) Pendidikan
Antikorupsi Tahun 2012, bagi 1007 Dosen di 526 Perguruan Tinggi di seluruh
Indonesia. Kemudian diharapkan 526 Perguruan Tinggi tersebut, yang terdiri dari
92 Perguruan Tinggi Negeri dan 434 Perguruan Tinggi Swasta, menyelenggarakan
Pendidikan Anti Korupsi mulai Tahun Akademik Baru 2012/2013.
Puspito & Tim Penyusun
menjelaskan bahwa, matakuliah Pendidikan Antikorupsi lebih menekankan pada
pembangunan karakter anti-korupsi (anti-corruption character building)
pada diri individu mahasiswa. Tujuan dari matakuliah Pendidikan Antikorupsi
adalah membentuk kepribadian anti-korupsi pada diri pribadi mahasiswa serta
membangun semangat dan kompetensinya sebagai agent of change bagi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang bersih dan bebas dari ancaman
korupsi.[17]
Dengan menyesuaikan tingkat peserta didik yaitu mahasiswa tingkat sarjana, maka
kompetensi yang ingin dicapai adalah:
a.
Mahasiswa
mampu mencegah dirinya sendiri agar tidak melakukan tindak korupsi (individual
competence).
b.
Mahasiswa
mampu mencegah orang lain agar tidak melakukan tindak korupsi dengan cara
memberikan peringatan orang tersebut.
c.
Mahasiswa
mampu mendeteksi adanya tindak korupsi (dan melaporkannya kepada penegak
hukum).
Adapun konsep dari matakuliah
Pendidikan Antikorupsi terdiri dari enam hal sebagai berikut ini;
a. Internalisasi
Pembelajaran Integritas
Internalisasi
nilai-nilai integritas dalam sistem pembelajaran harus memperhatikan empat hal
yaitu: (1) pengertian atau pemahaman terhadap karakter integritas, (2) perasaan
integritas, (3) tindakan integritas, dan (4) internalisasi nilai-nila keimanan,
etika, serta moral.
b. Intensi
Perilaku Antikorupsi
Setiap
perilaku yang dilakukan secara sadar berasal dari potensi perilaku disebut
dengan intensi. Potensi intensi perilaku tersebut adalah sikap, yang terdiri
dari tiga faktor yaitu kognisi, afeksi dan psikomotor, dimana ketiganya
bersinergi membentuk suatu perilaku tertentu. Dengan demikian, perilaku
korupsi/antikorupsi yang dimunculkan oleh individu didasari oleh adanya intensi
perilaku korupsi/anti-korupsi yang didalamnya terjadi sinergi tiga faktor kognisi,
afeksi dan psikomotorik. Metode matakuliah anti-korupsi hendaknya memberikan
sinergi yang seimbang antara ketiga komponen tersebut, sehingga benar-benar
dapat berfungsi untuk memperkuat potensi perilaku anti-korupsi mahasiswa. Pada
dasarnya potensi anti-korupsi ada pada diri setiap individu mahasiswa, dan
adalah tugas dosen untuk memperkuatnya.
c. Konsep
Teori Planned Behaviour
Terdapat 3
(tiga) komponen utama pembentuk intensi perilaku yaitu:
1.
Attitude
Toward Behavior yang dipengaruhi oleh behavioral belief, yaitu
evaluasi positif ataupun negatif terhadap suatu perilaku tertentu.
2.
Normative
belief yang dipengaruhi oleh subjective norms di sekeliling individu yang
mengharapkan si individu sebaiknya berperilaku tertentu atau tidak.
3.
Control
belief yang dipengaruhi oleh perceived behavior control, yaitu acuan
kesulitan dan kemudahan untuk memunculkan suatu perilaku.
Mata kuliah
Antikorupsi berfungsi untuk mempengaruhi ketiga komponen (behavioral beliefs,
normative beliefs, control beliefs) tersebut secara kuat sehingga dapat
menyumbang pada pembentukan attitude toward behavior, subjective norm, dan
perceived behavioral control mahasiswa, yang selanjutnya dinamika ketiganya
akan menentukan tingkat kekuatan intensi perilaku antikorupsi mahasiswa.
d. Konsep
Pembelajaran Berpusat Pada Siswa (Student Centered Learning)
SCL
merupakan orientasi baru pendidikan yang dianggap lebih tepat dalam membentuk
kompetensi utuh siswa. Konsep SCL adalah sebagai berikut:
1.
Pembelajaran
merupakan proses aktif mahasiswa yang mengembangkan potensi dirinya.
2.
Pengalaman
aktif mahasiswa harus bersumber/relevan realitas sosial, masalah-masalah yang
berkaitan profesi, berkaitan masalah-masalah sosial seperti pelayanan umum,
dll.
3.
Di dalam
proses pengalaman ini mahasiswa memperoleh inspirasi dan termotivasi untuk
bebas berprakarsa, kreatif dan mandiri.
4. Pengalaman
proses pembelajaran merupakan aktifitas mengingat, menyimpan dan memproduksi
informasi, gagasan-gagasan yang memperkaya kemampuan dan karakter mahasiswa.
Perubahan
paradigma dalam pembelajaran sehingga mahasiswa dapat menangkap pembelajaran
Pendidikan Antikorupsi dengan baik.
e. Metodologi
Pengajaran
Terdapat
piramida metodologi pengajaran yang terdiri dari lecture (5%), reading
(10%), audio visual (20%), demonstration (30%), discussion
group (50%), practice by doing (75%), dan teach other (90%).
Dalam Pendidikan Antikorupsi, metode pengajaran harus dirancang secara
komprehensif dan proporsional sesuai persentase efektivitas yang akan dicapai.
Dosen akhirnya lebih banyak berperan sebagai fasilitator, bukan semata
penceramah.
f. Participatory
Learning Method
Mata kuliah
Pendidikan Antikorupsi jangan sampai terjebak pada semata-mata sebuah
pembelajaran di kelas dengan cara konservatif yang berpusat pada dosen dan
penyampaian nilai-nilai dan konsep-konsep teoritis yang membosankan. Metode
pembelajaran partisipatoris merupakan salah satu metode yang cukup tepat untuk
mengatasi potensi masalah tersebut. Di bawah ini akan diuraikan aspek-aspek
penting terkait bagaimana mengajar (teaching) dan belajar (learning)
dapat berlangsung secara efektif dengan partisipasi akti para mahasiswa, yang
disesuaikan dengan keperluan matakuliah antikorupsi.
Tabel 2.2 Perbedaan Metode Pengajaran dan Pembelajaran.[18]
No
|
Pengajaran (Teaching)
|
Pembelajaran (Learning)
|
1.
|
Berpusat pada guru
|
Berpusat pada siswa
|
2.
|
Dosen dominan dalam aktor kelas
|
Dosen sebagai fasilitator
|
3.
|
Suasana "tertib", tenang, kaku,
Membosankan
|
Suasana "hidup", menyenangkan dan
interaktif
|
4.
|
Mahasiswa terlibat dalam kompetisi dengan mahasiswa
lain, dengan motivasi mengalahkan teman
|
Mahasiswa didorong bekerjasama dalam mencapai
tujuan. Tolong-menolong dalam memecahkan masalah dan bertukar pikiran
|
5.
|
Mahasiswa adalah tempat dosen mencurahkan
pengetahuan. Prestasi- nya adalah sejumlah hapalan/ reproduksi/ pengetahuan
|
Mahasiswa adalah pelaku proses pengalaman mengambil
keputusan, memecahkan masalah, menganalisis dan mengevaluasi.
Kegiatan memproduksi pengetahuan
|
6.
|
Evaluasi oleh dosen bersifat menyeleksi dan
meranking kuantitas hapalan
|
Evaluasi oleh mahasiswa berupa refleksi dan berperan
memperbaiki proses untuk meningkatkan prestasi
|
7.
|
Sumber belajar dosen dan teks buku
|
Sumber belajar adalah pengalaman eksplorasi
|
8.
|
Tempat belajar sebatas ruang kelas
|
tempat belajar ‘tidak terbatas ruang kelas tetap
seluas jagad raya’
|
Sumber: Puspito & Tim Penyusun (2011: 9)
Dari apa yang telah dibahas di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa metode yang sesuai untuk matakuliah Pendidikan Antikorupsi
adalah metode pembelajaran (learning). Berikut adalah beberapa metode
pembelajaran yang bisa diterapkan dalam matakuliah Antikorupsi. Setiap metode
pada dasarnya harus memberikan aspek problem-based learning bagi
mahasiswa, bahkan membawa pada problem solving terhadap setiap masalah
yang dibahas.
a. In Class
Discussion
1.
Tujuan:
untuk menumbuhkan kepekaan (awareness) dan membangun kerangka berfikir (framework
of thinking).
2.
Kegiatan:
penyampaian oleh dosen dan mendiskusikan konsep-konsep terkait korupsi dan
anti-korupsi.
b. Case
Study
1.
Tujuan:
untuk meningkatkan kepekaan mahasiswa terhadap kasus korupsi serta mampu
menganalisa atas dasar konsep-konsep yang diberikan.
2.
Kegiatan:
mendiskusikan kasus – kasus terkait dengan topik yang sedang dibahas, seperti
kasus korupsi, kasus faktor penyebab korupsi, kasus dampak korupsi, kasus
gerakan pemberantasan korupsi di negara lain, dsb.
c. Improvement
System Scenario
1.
Tujuan:
Memberikan rangsangan kepada mahasiswa agar memikirkan penyelesaian masalah
secara nyata (problem solving).
2.
Kegiatan:
dosen memberikan satu bahan diskusi untuk didiskusikan oleh kelompok mahasiswa.
Mahasiswa diharapkan membuat skema perbaikan sistem yang bisa menyelesaikan
masalah korupsi yang selalu terjadi pada kasus tersebut.
d. General Lecture
1.
Tujuan:
untuk belajar dari praktisi atau orang-orang di lapangan yang mampu
menginspirasi dan dapat menjadi role model bagi mahasiswa.
2.
Kegiatan:
menghadirkan seorang pembicara tamu untuk berbagi pengalaman dan kita dalam
memberantas dan mencegah korupsi di dunia kerjanya.
e. Diskusi Film
- Tujuan:
menggunakan media film sebagai media pembelajaran melalui kekuatan
audiovisual.
- Kegiatan: memutar film dokumenter korupsi atau
anti-korupsi, kemudian mendiskusikan dengan mahasiswa.
f. Investigative
Report
1.
Tujuan:
mahasiswa memiliki kompetensi untuk mengidentifikasi dan menganalisis sebuah
tindak korupsi yang nyata terjadi di lingkungan sekitar atau daerah setempat,
serta membuat laporan korupsi yang efektif dan impactful.
2.
Kegiatan:
merupakan investigasi lapangan yang dilakukan dalam kurun beberapa minggu.
Kelompok mahasiswa menentukan tindak korupsi dan lokasinya, melakukan
investigasi dengan teknik yang benar, menyusun laporan berisi kasus, data dan
analisis konseptual, dan mempresentasikannya di kelas. Mahasiswa dapat
menggunakan kamera, video dan recorder untuk mengumpulkan data dan
informasi sebagai bukti valid.
g. Thematic
Exploration
1.
Tujuan:
membangun cara berfikir (way of thinking) yang komprehensif dalam menggali
sebuah kasus.
2.
Kegiatan:
mahasiswa melakukan observasi terhadap sebuah kasus korupsi atau perilaku
koruptif, kemudian menganalisis dari berbagai perspektif sosial, budaya, hukum,
ekonomi, politik dan sebagainya. Mahasiswa juga bisa melakukan observasi
perbandingan perspektif atau cara penyelesaian terhadap satu jenis kasus yang
serupa dari masyarakat atau negara yang berbeda.
h. Prototype
1.
Tujuan:
penerapan keilmuan atau ciri khas perguruan tinggi terkait atau ciri khas lokal
dalam konteks anti-korupsi; atau mengeksplorasi korupsi dan anti-korupsi.
2.
Kegiatan:
mahasiswa membuat prototype teknologi terkait cara-cara penang-gulangan
korupsi.
i. Prove The
Government Policy
1. Tujuan:
memantau realisasi janji pemerintah sebagai bentuk integritas.
2. Kegiatan:
kelompok mahasiswa melakukan pengamatan, penelitian ke lapangan untuk melihat
kesesuaian janji pemerintah yang disosialisasikan melalui
kampanye/spanduk/iklan/pengumuman prosedur di berbagai instansi dengan
realisasi di lapangan.
j. Education
Tools
1.
Tujuan:
menciptakan media pembelajaran yang kreatif untuk segmen pendidikan formal
maupun publik dalam rangka gerakan antikorupsi.
2.
Kegiatan:
kelompok mahasiswa mewujudkan kreatifitasnya dalam mendesain berbagai macam
produk yang bisa menjadi media pembelajaran antikorupsi.
E. Nilai dan
Prinsip Anti Korupsi
Pada
dasarnya korupsi terjadi karena adanya faktor internal (niat) dan faktor
eksternal (kesempatan). Niat lebih terkait dengan faktor individu yang meliputi
prilaku dan nilai-nilai yang dianut, sedangkan kesempatan terkait dengan sistem
yang berlaku. Upaya pencegahan korupsi dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai
anti korupsi pada semua individu.”
Setidaknya ada sembilan nilai-nilai anti korupsi yang penting untuk ditanamkan pada
semua orang, yaitu :
1.
Kejujuran
2.
Kepedulian
3.
Kemandirian
4.
Kedisiplinan
5.
Tanggung jawab
6.
Kerja Keras,
7.
Sederhana,
8.
Keberanian, dan
9.
Keadilan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi
serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber
dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem
administrasi negara dengan birokrasi sebagai prangkat pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya
delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia
masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan
hukum menurut kepentingannya. Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk
menangani tindak pidana korupsi yang sudah diperkarakan bahkan terdakwapun
sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman. Itulah sebabnya
kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan korupsi dapat
dipastikan gagal.
Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menajadi “jalan tak ada
ujung”, melainkan “jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya
untuk mengatasi persoalan korupsi dapat ditinjau dari struktur atau sistem
sosial, dari segi yuridis, maupun segi etika atau akhlak manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Darwan Prinst,S.H., Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti, 2002.
Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi. 2012. Pendidikan Anti Korupsi. (Online), (http://www.dikti.go.id), diakses 12 Oktober
2012.
Evi Hartanti, S.H., Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, 2005.
Hermien Hadianti Koeswadji, S.H., Korupsi di Indonesia Dari Delik Jabatan Ke
Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1994.
Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Lilik Mulyadi, S.H., Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus
Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999), Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
Pratiwi, Upaya Prefentif
dan Rehabilitatif Tindak Korupsi Lembaga Pemerintahan Indonesia. (Online),
(http://blog.student.uny.ac.id), diakses 12
Oktober 2012.
Puspito, N & Tim Penyusun. Pendidikan
Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendikbud. 2011.
Qalbi, A. 2011. Mahasiswa dan
Tindakan Preventif (Pencegahan) Korupsi: Refleksi Hari Anti Korupsi Sedunia.
(Online), (http://www.scribd.com),
diakses 12 Oktober 2012.
Syam, N. 2000. Penyebab
Korupsi. (Online), (http://www.nursyam.sunan-ampel.ac.id),
diakses
28 Oktober 2012.
Wahyudi, I & Sopanah. 2010. Analisis
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) di Malang Raya. (Online), (http://www.ejournal.umm.ac.id), diakses 28
Oktober 2012.
[1]
Puspito, N & Tim
Penyusun. Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Kemendikbud. 2011, hlm. 23, 24.
[2] Darwan Prinst,S.H., Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hlm 1.
[3]
Puspito, N & Tim
Penyusun. Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Kemendikbud. 2011, hlm. 23, 24.
[4]
Pratiwi, I.
2011. Upaya Prefentif dan Rehabilitatif Tindak Korupsi Lembaga Pemerintahan
Indonesia. (Online), (http://blog.student.uny.ac.id),
diakses 12 Oktober 2012.
[5] Lilik Mulyadi, S.H., Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus
Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999), Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000,
hlm 1, 2.
[6] Evi Hartanti, S.H., Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar
Grafika, 2005, hlm 1, 2
[7] Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2005, hlm 55.
[8] Hermien Hadianti Koeswadji,
S.H., Korupsi di Indonesia Dari Delik
Jabatan Ke Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1994, hlm
35.
[9]
Puspito, N & Tim
Penyusun. Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Kemendikbud. 2011, hlm. 25-27
[10] Wahyudi, I & Sopanah. 2010. Analisis
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) di Malang Raya. (Online), (http://www.ejournal.umm.ac.id), diakses 28
Oktober 2012.
[11] Syam, N. 2000. Penyebab
Korupsi. (Online), (http://www.nursyam.sunan-ampel.ac.id),
diakses 28 Oktober
2012.
[12] Puspito, N & Tim
Penyusun. Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Kemendikbud. 2011, hlm. 41, 45.
[13]
Puspito, N & Tim Penyusun. Pendidikan
Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendikbud. 2011, hlm. 47,49.
[14]
Qalbi, A. 2011. Mahasiswa
dan Tindakan Preventif (Pencegahan) Korupsi: Refleksi Hari Anti Korupsi Sedunia.
(Online), (http://www.scribd.com),
diakses 12 Oktober 2012.
[15] Puspito, N & Tim Penyusun. Pendidikan
Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendikbud. . 2011, hlm.
145-150
[16] Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi. 2012. Pendidikan Anti Korupsi. (Online), (http://www.dikti.go.id), diakses 12 Oktober
2012.
[17]
Puspito, N & Tim
Penyusun. Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Kemendikbud. . 2011, hlm 5, 16.
[18]
Puspito, N & Tim
Penyusun. Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Kemendikbud. 2011, hlm, 9.
No comments:
Post a Comment