Inilah kisah luar biasa tentang KH Abdul Manan, salah satu pendiri Pesantren Al Muayyad di Solo, yang sayang sekali bila tidak dibagi di sini. (Di tengah carut marut medsos, hal-hal baik jadi wajib rasanya untuk dibagi).
Suatu kali, Gus Mus (KH Mustofa Bisri) bercerita pada jamaahnya mengenai KH Abdul Manan. Dulu, KH Abdul Manan pernah meminta pada lurah asrama pesantrennya untuk mencatat nama-nama santri yang nakal. Sang lurah, dengan semangat 45 mendata siapa saja santri-santri yang sering jengkelin dia. Dari hasil obrak-abrik ingatan, akhirnya ketemulah dia nama 25 santri. Dengan perasaan senang ia memberikan daftar nama-nama itu ke sang kiai. Ia pikir, para santri itu akan dihukum langsung oleh sang kiai, atau kalau perlu dikeluarkan agar tak ada lagi yang bikin masalah. Sang lurah pun menunggu hari 'eksekusi'.
Dua hari ditunggu, hari itu tidak datang. Ditunggu lagi sampai 4,6 hari, bahkan sampai dua minggu, tak ada tanda-tanda pak kiai akan memberi hukuman. Sang lurah pikir KH Abdul Manan mungkin lupa atau boleh jadi daftar itu hilang. Akhirnya, dengan inisiatif sendiri dia mengulang membuat daftar itu dan menyerahkannya pada sang kiai. Tapi, apa jawab sang kiai?
"Iya, daftarnya masih saya simpan," demikian kira-kira ucapan beliau.
"Lah, kalau gitu untuk apa sama Pak Kiai?" tanya sang lurah, heran.
"Itu untuk saya baca pas berdoa," jawab KH Abdul Manan, "saya menyebut nama-nama mereka, memohon pada Allah agar mereka semua mendapat hidayah."
Jamaah Gus Mus yang mendengar cerita tersebut langsung tertawa mendengarnya. Yang mereka rasa lucu tentu keluguan sang lurah. Namun, dari seluruh jamaah, hanya satu yang tidak tertawa. Dia adalah seorang kiai muda yang punya ribuan santri. Tentu sikap diamnya ini bikin Gus Mus penasaran.
Setelah pengajian Gus Mus bubar, kiai muda ini lalu mendekati Gus Mus
Ia menyalami Gus Mus sambil menangis.
Gus Mus bertanya ada apa, mengapa tadi sang kiai muda diam saja?
Dijawab (sambil nangis), "Gus Mus, saya adalah salah satu dari 25 santri dalam daftar itu."
**
Sebagian guru tidak menyadari betapa pentingnya tugas yang ia emban. Sering, siswa yang menjengkelkan justru dimarahi, dihukum bahkan dikeluarkan dari sekolah. Coba kita bayangkan, seandainya KH Abdul Manan mengeluarkan 25 santri tadi, mungkinkah salah satunya akan menjelma kiai muda yang mendidik ribuan santri tadi? Bisa jadi ia malah akan tumbuh dengan stigma nakal, sesuatu yang bisa menghambat pertumbuhan mental dan imannya.
Dalam upaya menemukan jati dirinya, seorang anak manusia bisa saja melakukan hal-hal yang menjengkelkan. Di sinilah kesabaran orang dewasa (orang tua, guru) menjadi penting. Mereka perlu didampingi, dibimbing, agar bisa melalui fase itu dan menemukan siapa dirinya, bukannya dijauhi apalagi diusir. Menjadi guru sama seperti petani. Tanaman yang tumbuh tentu harus dirawat sebaiknya. Jika ada hama, tentu hama itu yang perlu dibersihkan agar tidak makin merusak, bukannya malah membakar habis semua tanaman.
KH Abdul Manan memahami betul hal ini. Alih-alih memusnahkan tanaman, justru ia bersihkan hama itu dengan ilmu, sabar dan doa.
Masya Alloh
No comments:
Post a Comment